Blogroll

Selasa, 28 Februari 2012

MENGENAL ULOS BATAK JENIS DAN TATA CARA PENGGUNAANNYA

MENGENAL ULOS BATAK: JENIS DAN TATA CARA PENGGUNAANNYA

 by Pomparan Toga Samosir Dohot Boruna Se Indonesia

Pada jaman dahulu sebelum orang batak mengenal tekstil buatan luar, ulos adalah pakaian sehari-hari. Bila dipakai laki-laki bagian atasnya disebut “hande-hande” sedang bagian bawah disebut “singkot” kemudian bagian penutup kepala disebut “tali-tali” atau “detar”.
Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen”, untuk penutup pungung disebut “hoba-hoba” dan bila dipakai berupa selendang disebut “ampe-ampe” dan yang dipakai sebagai penutup kepala disebut “saong”.
Apabila seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut “hohop-hohop” sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa”.
Sampai sekarang tradisi berpakaian cara ini masih biasa kita lihat didaerah pedalaman Tapanuli.
Tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugia, ragi hidup, ragi hotang dan runjat. Biasanya adalah simpanan dan hanya dipakai pada waktu tertentu saja.

Proses pembuatan ulos batak.
Bagi awam dirasa sangat unik. Bahan dasar ulos pada umumnya adalah sama yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan sebuah ulos adalah proses pembuatannya. Ini merupakan ukuran penentuan nilai sebuah ulos.
Untuk memberi warna dasar benang ulos, sejenis tumbuhan nila (salaon) dimasukkan kedalam sebuah periuk tanah yang telah diisi air. Tumbuhan ini direndam (digon-gon) berhari-hari hingga gatahnya keluar, lalu diperas dan ampasnya dibuang. Hasilnya ialah cairan berwarna hitam kebiru-biruan yang disebut “itom”.

Periuk tanah (palabuan) diisi dengan air hujan yang tertampung pada lekuk batu (aek ni nanturge) dicampur dengan air kapur secukupnya. Kemudian cairan yang berwarna hitam kebiru-biruan tadi dimasukkan, lalu diaduk hingga larut. Ini disebut “manggaru”. Kedalaman cairan inilah benang dicelupkan.
Sebelum dicelupkan, benang terlebih dahulu dililit dengan benang lain pada bahagian-bahagian tertentu menurut warna yang diingini, setelah itu proses pencelupan dimulai secara berulang-ulang. Proses ini memakan waktu yang sangat lama bahkan berbulan-bulan dan ada kalahnya ada yang sampai bertahun.
Setelah warna yang diharapkan tercapai, benang tadi kemudian disepuh dengan air lumpur yang dicampur dengan air abu, lalu dimasak hingga mendidih sampai benang tadi kelihatan mengkilat. Ini disebut “mar-sigira”. Biasanya dilakukan pada waktu pagi ditepi kali atau dipinggiran sungai/danau.

Bilamana warna yang diharapkan sudah cukup matang, lilitan benang kemudian dibuka untuk “diunggas” agar benang menjadi kuat. Benang direndam kedalam periuk yang berisi nasi hingga meresap keseluruh benang. Selesai diunggas, benang dikeringkan.
Benang yang sudah kering digulung (dihulhul) setiap jenis warna.
Setelah benang sudah lengkap dalam gulungan setiap jenis warna yang dibutuhkan pekerjaan selanjutnya adalah “mangani”. Benang yang sudah selesai diani inilah yang kemudian masuk proses penenunan.
Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi.

Seperti telah diutarakan diatas, ulos Batak mempunyai bahan baku yang sama. Yang membedakan adalah poses pembuatannya mempunyai tingkatan tertentu. Misalnya bagi anak dara, yang sedang belajar bertenun hanya diperkenankan membuat ulos “parompa” ini disebut “mallage” (ulos yang dipakai untuk menggendong anak).
Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna motif yang diinginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut “marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.

Jenis Ulos
1. Ulos Jugia

Ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau “pinunsaan”.
Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos “homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” (berupa Iemari pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata lain “naung gabe” (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan).
Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai keturunan walaupun telah mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang tua tersebut belum bisa disebut atau digolongkan dengan tingkalan saur matua. Hanya orang yang disebut “nagabe” sajalah yang berhak memakai ulos tersebut. Jadi ukuran hagabeon dalam adat suku Batak bukanlah ditinjau dari kedudukan pangkat maupun kekayaan.
Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan benda langka hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya dan nialainya sama dengan “sitoppi” (emas yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta) yang ukurannya sama dengan ukuran padi yang disepakati dan tentu jumlah besar.

2. Ulos Ragi Hidup.

Ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos ini adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat pemakainya dalam upacara adat Batak .
Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu.

Dalam system kekeluargaan orang Batak. Kelompok satu marga ( dongan tubu) adalah kelompok “sisada raga-raga sisada somba” terhadap kelompok marga lain. Ada pepatah yang mengatakan “martanda do suhul, marbona sakkalan, marnata do suhut, marnampuna do ugasan”, yang dapat diartikan walaupun pesta itu untuk kepentingan bersama, hak yang punya hajat (suhut sihabolonan) tetap diakui sebagai pengambil kata putus (putusan terakhir).
Dengan memakai ulos ini akan jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah.
Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut ulos “Ragi Hidup”.
Mengapa harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu tertentu menurut “hatiha” Batak (kalender Batak). Bila dimulai Artia (hari pertama) selesai di Tula (hari tengah dua puluh).
Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang sulung sedang yang lainnya memakai ulos “sibolang”. Ulos ini juga sangat baik bila diberikan sebagai ulos “Panggabei” (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi Hidup sama dengan ulos jugia.
Pada upacara perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos “Pansamot” (untuk orang tua pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa pun. Dan didaerah Simalungun ulos Ragi Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.

3. Ragi Hotang

Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai ulos “Marjabu”. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti rotan (hotang).
Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti terikat.
Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak) tersebut.

4. Ulos Sadum

Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana suka cita. Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya dipakai sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja. Untuk mengundang (marontang) raja raja, ulos ini dipakai sebagai alas sirih diatas piring besar (pinggan godang burangir/harunduk panyurduan).
Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke daerah.

5. Ulos Runjat
 
Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos “edang-edang” (dipakai pada waktu pergi ke undangan). Ulos ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut versi (tohonan) Dalihan Natolu diluar hasuhutan bolon, misalnya oleh Tulang (paman), pariban (kakak pengantin perempuan yang sudah kawin), dan pamarai (pakcik pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu “mangupa-upa” dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni roha).
Kelima jenis ulos ini adalah merupakan ulos homitan (simpanan) yang hanya kelihatan pada waktu tertentu saja. Karena ulos ini jarang dipakai hingga tidak perlu dicuci dan biasanya cukup dijemur di siang hari pada waktu masa bulan purnama (tula).

6. Ulos Sibolang
 
Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita. Untuk keperluan duka cita biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya menonjol, sedang bila dalam acara suka cita dipilih dari warna yang putihnya menonjol. Dalam acara duka cita ulos ini paling banyak dipergunakan orang. Untuk ulos “saput” atau ulos “tujung” harusnya dari jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang lain.
Dalam upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai “tutup ni ampang” dan juga bisa disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang warnanya putihnya menonjol. Inilah yang disebut “ulos pamontari”. Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala peristiwa adat maka ulos ini dinilai paling tinggi dari segi adat batak. Harganya relatif murah sehingga dapat dijangkau orang kebanyakan. Ulos ini tidak lajim dipakai sebagai ulos pangupa atau parompa.

7. Ulos Suri-suri Ganjang
 
Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk sisir memanjang. Dahulu ulos ini dipergunakan sebagai ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul gendang) ulos ini dipakai hula-hula menyambut pihak anak boru. Ulos ini juga dapat diberikan sebagai “ulos tondi” kepada pengantin. Ulos ini sering juga dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe. Ada keistimewaan ulos ini yaitu karena panjangnya melebihi ulos biasa. Bila dipakai sebagai ampe-ampe bisa mencapai dua kali lilit pada bahu kiri dan kanan sehingga kelihatan sipemakai layaknya memakai dua ulos.

8. Ulos Mangiring

Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai ulos parompa kepada cucunya. Seiring dengan pemberian ulos itu kelak akan lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya sebagai temannya seiring dan sejalan. Ulos ini juga dapat dipakai sebagai pakaian sehari-hari dalam bentuk tali-tali (detar) untuk kaum laki-laki. Bagi kaum wanita juga dapat dipakai sebagai saong (tudung). Pada waktu upacara “mampe goar” (pembaptisan anak) ulos ini juga dapat dipakai sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu. Bila mampe goar untuk anak sulung harus ulos jenis “Bintang maratur”.

9. Bintang Maratur
 
Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal “sinadongan” (kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang, semuanya berada dalam tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari dapat dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe), juga dapat dipakai sebagai tali-tali atau saong. Sedangkan nilai dan fungsinya sama dengan ulos mangiring dan harganya relatif sama.

10. Sitoluntuho-Bolean
 
Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai ulos parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai ulos panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya berjejer tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai untuk melubang tanah guna menanam benih.

11. Ulos Jungkit

Ulos ini jenis ulos “nanidondang” atau ulos paruda (permata). Purada atau permata merupakan penghias dari ulos tersebut. Dahulu ulos ini dipakai oleh para anak gadis dan keluarga Raja-raja untuk hoba-hoba yang dipakai hingga dada. Juga dipakai pada waktu menerima tamu pembesar atau pada waktu kawin.
Pada waktu dahulu kala, purada atau permata ini dibawa oleh saudagar-saudagar dari India lewat Bandar Barus. Pada pertengahan abad XX ini, permata tersebut tidak ada lagi diperdagangkan. Maka bentuk permata dari ragi ulos tersebut diganti dengan cara “manjungkit” (mengkait) benang ulos tersebut. Ragi yang dibuat hampir mirip dengan kain songket buatan Rejang atau Lebong. Karena proses pembuatannya sangat sulit, menyebabkan ulos ini merupakan barang langka, maka kedudukannya diganti oleh kain songket tersebut. Inilah sebabnya baik didaerah leluhur si Raja Batak pun pada waktu acara perkawinan kain songket ini biasa dipakai para anak gadis/pengantin perempuan sebagai pengganti ulos nanidondang. Disinilah pertanda atau merupakan suatu bukti telah pudarnya nilai ulos bagi orang Batak.

12. Ulos Lobu-Lobu
Jenis ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang memerlukannya, karena ulos ini mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak). Karenanya tidak pernah diperdagangkan atau disimpan diparmonang-monangan, itulah sebabnya orang jarang mengenal ulos ini. Bentuknya seperti kain sarung dan rambunya tidak boleh dipotong. Ulos ini juga disebut ulos “giun hinarharan”. Jaman dahulu para orang tua sering memberikan ulos ini kepada anaknya yang sedang mengandung (hamil tua). Tujuannya agar nantinya anak yang dikandung lahir dengan selamat.
Masih banyak lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos antara lain: Ragi Panai, Ragi Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul, Ulos Takkup, dan banyak lagi nama-nama ulos yang belum disebut disini. Menurut orang-orang tua jenis ulos mencapai 57 jenis.
Seperti telah diterangkan, ulos mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam upacara adat batak, karena itu tidak mungkin kita bicarakan adat batak tanpa membicarakan hiou, ois, obit godang atau uis yang kesemuanya adalah merupakan identintas orang Batak.

13. Ulos Harungua

Jenis ulos ini sudah sangat langka. Dulu digunakan pada ulaon Harajaon dan Hasuhutan Gondang. Digunakan juga oleh kaum ibu (Paniaran, marsitabolan, marsanggul bane)


Penerima Ulos
Menurut tata cara adat batak, setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos sejak lahir hingga akhir hayatnya. Inilah yang disebut ulos “na marsintuhu” (ulos keharusan) sesuai dengan falsafah dalihan na tolu. Pertama diterima sewaktu dia baru lahir disebut ulos “parompa” dahulu dikenal dengan ulos “paralo-alo tondi”. Yang kedua diterima pada waktu dia memasuki ambang kehidupan baru (kawin) yang disebut ulos “marjabu” bagi kedua pengantin (saat ini desebut ulos “hela”).
Seterusnya yang ketiga adalah ulos yattg diterima sewaktu dia meninggal. dunia disebut ulos “saput”.

I. Ulos Saat Kelahiran.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama apakah anak yang lahir tersebut anak sulung atau tidak. Dan yang kedua apakah anak tersebut anak sulung dari seorang anak sulung dari satu keluarga. 1. Bila yang lahir tersebut adalah anak sulung dari seorang ayah yang bukan anak sulung maka yang mampe goar disamping sianak, hanyalah orangtuanya saja (mar amani… ). 2. Sedang bila anak tersebut adalah anak sulung dari seorang anak sulung pada satu keluarga maka yang mampe goar disamping sianak, juga ayah dan kakeknya (marama ni… dan ompu ni… ).

Gelar ompu… bila gelar tersebut mempunyai kata sisipan “si”, maka gelar yang diperoleh itu diperdapat dari anak sulung perempuan (ompung bao).
Bilamana tidak mendapat kata sisipan si… maka gelar ompu yang diterimanya berasal dari anak sulung laki-laki (Ompung Suhut).

Untuk point pertama, maka pihak hula-hula hanya menyediakan dua buah ulos yaitu ulos parompa untuk sianak dan ulos pargomgom mampe goar untuk ayahnya. Untuk sianak sebagai parompa dapat diberikan ulos mangiring dan untuk ayahnya dapat diberikan ulos suri-suri ganjang atau ulos sitoluntuho.
Untuk point kedua, hula-hula harus menyediakan ulos sebanyak tiga buah, yaitu ulos parompa untuk sianak, ulos pargomgom untuk ayahnya, dan ulos bulang-bulang untuk ompungnya.
Seiring dengan pemberian ulos selalu disampaikan kata-kata yang mengandung harapan agar kiranya nama anak yang ditebalkan dan setelah dianya nanti besar dapat memperoleh berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Disampaikan melalui umpama (pantun). Pihak hula-hula memberikan ulos dari jenis ulos bintang maratur, tetapi bila hanya sekedar memberi ulos parompa boleh saja ulos mangiring.

II. Ulos Saat Perkawinan
Dalam waktu upacara perkawinan, pihak hula-hula harus dapat menyediakan ulos “si tot ni pansa” yaitu; 1. Ulos marjabu (untuk pengantin), 2. Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki, 3. Ulos pamarai diberikan pada saudara yang lebih tua dari pengantin laki-laki atau saudara kandung ayah, 4. Ulos simolohon diberikan kepada iboto (adek/kakak) pengantin laki-laki. Bila belum ada yang menikah maka ulos ini dapat diberikan kepada iboto dari ayahnya. Ulos yang disebut sesuai dengan ketentuan diatas adalah ulos yang harus disediakan oleh pihak hula-hula (orang tua pengantin perempuan).
Adapun ulos tutup ni ampang diterima oleh boru diampuan (sihunti ampang) hanya bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual). Bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang tidak diberikan.

Sering kita melihat begitu banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut “ragi-ragi ni sinamot”. Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot (menerima sebahagian dari sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama (pantun) dalam suku Batak disebut “malo manapol ingkon mananggal”. Pantun ini mengandung pengertian, orang Batak tidak mau terutang adat.
Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima “goli-goli” dari ragi-ragi ni sinamot. Timbul kedudukan yang tidak sepatutnya (margoli-goli) sehingga undangan umum (ale-ale) dengan dalih istilah “ulos holong” memberikan pula ulos kepada pengantin.

Tata cara pemberian.
Sebuah ulos (biasanya ragi hotang) disediakan untuk pengantin oleh hula-hula. Orang tua pengantin perempuan langsung memberikan (manguloshon) kepada kedua pengantin yang disebut “ulos marjabu”. Apabila orang tua pihak perempuan diwakilkan kepada keluarga dekat, maka dia berhak memberikan ulos kepada pengantin, akan tetapi bila orang tua laki-laki yang diwakilkan, maka ulos pansamot harus diterima secara terlipat.
Sedangkan ulos pargomgom (untuk pangamai) dapat diterima menurut tata cara yang biasa, dan pada peristiwa ini harus disediakan ulos sebanyak dua helai (ulos pasamot dan ulos pargomgom). Dalam penyampaian ulos biasanya diiringi dengan berbagai pantun (umpasa) dan berbagai kata-kata yang mengandung berkah (pasu-pasu). Setelah diulosi dilanjutkan penyampaian beras pasu-pasu (boras sipir ni tondi) ditaburkan termasuk kepada umum dengan mengucapkan “h o r a s” tiga kali.

Selanjutnya menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin laki-laki atau yang mewakilinya dalam hal ini seiring dengan penyampaian umpasa dan kata-kata petuah. Sesudah itu berjalanlah pemberian ulos si tot ni pansa kepada pamarai dan simolohon. Biasanya pemberian ini disampaikan oleh suhut paidua (keluarga/turunan saudara nenek).
Setelah ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari tulang (paman) pengantin laki-laki.
Tata cara urutan pemberian ulos adalah sebagai berikut; 1. Mula-mula yang memberikan ulos adalah orang tua pengantin perempuan, 2. Baru disusul oleh pihak tulang pengantin perempuan termasuk tulang rorobot, 3. Kemudian disusul pihak dongan sabutuha dari orang tua pengantin perempuan yang disebut paidua (pamarai), 4. Kemudian disusul oleh oleh pariban yaitu boru dari orang tua pengantin perempuan, 5. Dan yang terakhir adalah tulang pengantin laki-laki, setelah kepadanya diberikan bahagian dari sinamot yang diterima parboru dari paranak dari jumlah yang disepakati sebanyak 2/3 dari pihak parboru dan 1/3 dari paranak. Bahagian ini disampaikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada tulang/paman pengantin laki-laki, inilah yang disebut “tintin marangkup”.

III. Ulos Saat Kematian.
Ulos yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan kepada seseorang ialah ulos yang diterima pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat (status memurut umur dan turunan) seseorang menentukan jenis ulos yang dapat diterimanya.

Jika seseorang mati muda (mate hadirianna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos yang disebut “parolang-olangan” biasanya dari jenis parompa.
Bila seseorng meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring) maka kepadanya diberi ulos “saput” dan yang ditinggal (duda, janda) diberikan ulos “tujung”.
Bila yang mati orang tua yang sudah lengkap ditinjau dari segi keturunan dan keadaan (sari/saur matua) maka kepadanya diberikan ulos “Panggabei”.
Ulos “jugia” hanya dapat diberikan kepada orang tua yang keturunannya belum ada yang meninggal (martilaha martua).

Khusus tentang ulos saput dan tujung perlu ditegaskan tentang pemberiannya. Menurut para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak “tulang”, sebagai bukti bahwa tulang masih tetap ada hubungannya dengan kemenakan (berenya).
Sedang ulos tujung diberikan hula-hula, dan hal ini penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah.

Tata cara pemberiannya.
Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga) maka tidak ada acara pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga, setelah hula-hula mendengar khabar tentang ini, disediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak tulang menyediakan ulos saput. Pemberiannya diiringi kata-kata turut berduka cita (marhabot ni roha). Setelah beberapa hari berselang, dilanjutkan dengan acara membuka (mengungkap) tujung yang dilakukan pihak hula-hula. Setelah mayat dikubur, pada saat itu juga ada dilaksanakan mengungkap tujung, tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Hula-hula menyediakan beras dipiring (sipir ni tondi), air bersih untuk cuci muka (aek parsuapan), air putih satu gelas (aek sitio-tio). Pelaksanaan acara mengungkap tujung umumnya dibuat pada waktu pagi (panangkok ni mata ni ari). Setelah pihak hula-hula membuka tujung dari yang balu, dilanjutkan dengan mencuci muka (marsuap). Anak-anak yang ditinggalkan juga ikut dicuci mukanya, kemudian dilanjutkan dengan penaburan beras diatas kepala yang balu dan anak-anaknya.

Memberi ulos panggabei.
Bila seseorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh hula-hula akan memberi ulos yang disebut ulos Panggabei. Biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi kepada seluruh turunannya (anak, pahompu, dan cicit). Biasanya ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula-hula mulai dari hula-hula, bona tulang, bona ni ari, dan seluruh hula-hula anaknya dan hula-hula cucu/cicitnya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini biasanya memakan waktu sangat lama, adakalanya mencapai 3-5 hari acaranya. Biaya acaranya cukup besar, karena inilah acara puncak kehidupan orang yang terakhir.

Yang Memberikan Ulos
Di wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak hula-hulalah yang memberikan ulos kepada parboru/boru (dalam perkawinan). Tetapi diwilayah Pakpak / Dairi dan Tapanuli Selatan, pihak borulah yang memberikan ulos kepada kula-kula (kalimbubu) atau mora. Perbedaan spesifik ini bukan berarti mengurangi nilai dan makna ulos dalam upacara adat.

Semua pelaksanaan adat batak dititik beratkan sesuai dengan “dalihan na tolu” (tungku/dapur terdiri dari tiga batu) yang pengertiannya dalam adat batak ialah dongan tubu, boru, hula-hula harus saling membantu dan saling hormat menghormati.
Di wilayah Toba yang berhak memberikan ulos ialah : 1. Pihak hula-hula (tulang, mertua, bona tulang, bona ni ari, dan tulang rorobot). 2. Pihak dongan tubu (ayah, saudara ayah, kakek, saudara penganten laki-laki yang lebih tinggi dalam kedudukan kekeluargaan). 3. Pihak pariban (dalam urutan tinggi pada kekeluargaan).
Ale-ale (teman kerabat) yang sering kita lihat turut memberikan ulos, sebenarnya adalah diluar tohonan Dalihan na tolu (pemberian ale-ale tidak ditentukan harus ulos, ada kalanya diberikan dalam bentuk kado dan lain-lain).
Dari urutan diatas jelaslah bahwa yang berhak memberikan ulos adalah mereka yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan dari sipenerima ulos.
Sumber: Dari Berbagai Sumber

KAIN ULOS SEBAGAI SIMBOL KOMUNIKASI SUKU BATAK


Komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Hampir setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain. Alat kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa komunikasi akan terisolasi


Komunikasi bertujuan untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik, kita ingin berhubungan dengan orang lain secara positif. Abraham Maslow (Rakhmat, 1998:37) menyebutkan “kebutuhan akan cinta” atau “belongingness”.


Secara singkat, kita ingin bergabung dan berhubungan dengan orang lain. Kita ingin mengendalikan dan dikendalikan, kita ingin mencintai dan dicintai. Kebutuhan ini hanya dapat dipenuhi dengan komunikasi interpersonal yang efektif.

Lingkungan sosial merefleksikan bagaimana orang hidup, bagaimana ia berinteraksi dengan orang lain. Lingkungan sosial adalah budaya, dan bila kita ingin benar-benar memahami komunikasi, kitapun memahami budayanya.

Komunikasi ... adalah pembawa proses sosial. Ia adalah alat yang manusia miliki untuk mengatur, menstabilkan dan memodifikasi kehidupan sosialnya, ... proses sosial bergantung pada penghimpunan, pertukaran dan penyampaian pengetahuan. Pada gilirannya pengetahuan bergantung pada komunikasi (Peterson, Jensen, dan Rivers, 1965).

Dalam konteks ini dapat dirumuskan budaya sebagai panduan-panduan yang merefleksikan respons komunikatif terhadap rangsangan dari lingkungannya. Pola budaya ini merefleksikan elemen-elemen yang sama dalam perilaku komunikasi individual yang dilakukan mereka yang lahir dan diasuh dalam budaya itu.
Dengan demikian budaya sebagai seperangkat aturan terorganisasikan mengenai cara-cara yang dilakukan individu-individu dalam masyarakat berkomunikasi satu sama lain dan cara mereka berpikir tentang diri mereka dalam lingkungan mereka.

Proses yang dilalui individu-individu untuk memperoleh aturan-aturan (budaya) komunikasi dimulai pada awal kehidupan melalui proses asimilasi dan pendidikan pola-pola budaya ditanamkan ke dalam sistem saraf-saraf menjadi bagian kepribadian dan perilaku kita (Adder dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 1996:138).

Proses komunikasi dalam suatu budaya berlangsung dengan penggunaan simbol-simbol. Penggunaan simbol-simbol secara populer dalam masyarakat sangat bervariasi. Simbol dipergunakan untuk mendiskusikan suatu objek, pribadi-pribadi, tindakan yang berhubungan dengan masyarakat (public interest) atau individu.

Berbagai contoh penggunaan simbol-simbol dalam kehidupan, baik dalam politik, ekonomi, ekologi, atau dalam hubungan internasional dapat diamati baik dalam bentuk bahasa, benda, atau lambang-lambang tertentu guna mempresentasikan “makna” yang melekat terkait dalam setiap kejadian (event) kehidupan itu secara luas dan intensif.

Kunci untuk memahami kualitas dan makna simbol harus dirujuk pada lingkungan dimana dia terkait dan merupakan bahagian dari lingkungan tersebut. Selanjutnya, bukan hanya kodrat (nature) dari lambang itu sendiri tetapi juga harus dilihat pada hubungan yang diperhitungkan pada saat memillih simbol itu sendiri. Pada waktu yang bersamaan kita tidak dapat melupakan keseluruhan sifat-sifat dari objek yang dipergunakan sebagai simbol, sebab objek simbol dan kelompok manusia yang mempergunakan simbol itu cenderung mempresentasikan hubungan terkoodinir dalam situasi tertentu (Usman Pelly dalam Teori Sosial Budaya, 1994:84).

Manusia sebagai makhluk yang bersimbol (animal symbolicum) dalam tatanan tertentu cenderung menciptakan suatu tanda atau lambang utama sebagai makna dalam komunikasi. Ada simbol yang dijadikan sebagai media penyampaian pesan. Namun ada pula media tradisional yang berfungsi sebagai jembatan atau sarana.

Media trandisional disini dapat berupa upacara-upacara ritual, simbol tertentu yang dijadikan alat tukar, bahkan tata kebiasaan tertentu yang bersifat kolektif. Lewat sarana-sarana atau simbol-simbo ini, dapat menghadirkan kaum kerabat atau klen saling berkumpul. Melalui upacar-upacara ritual inilah berlangsung proses komunikasi antar pribadi yang intensif.

Setiap suka di Indonesia yang terdiri dari berbagai etnik mempunyai simbol-simbol tertentu yang disepakati bersama sebagai media tradisional untuk menjalin relasi antarklen, sarana komunikasi, dan benda sakral dalam upacara-upacara. Suku batak adalah salah satu etnik di Sumatera Utara yang kaya akan simbol-simbol. Salah satu yang terkenal adalah simbol Ulos yang memainkan peranan penting dalam masyarakat Batak.

Kehidupan masyarakat suku Batak, tidak terlepas dari penggunaan kain ulos, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbagai upacara adat. Ulos pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung "kekuatan" yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya.

Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang, yang melambangkan ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya atau antara seseorang dan orang lain, seperti yang tercantum dalam filsafat batak yang berbunyi: “Ijuk pengihot ni hodong.” Ulos pengihot ni halong, yang artinya ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih sayang diantara sesama.

Pada mulanya fungsi Ulos adalah untuk menghangatkan badan, tetapi kini Ulos memiliki fungsi simbolik untuk hal-hal lain dlam segala aspek kehidupan orang Batak. Ulos tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak. Setiap ulos mempunyai ‘raksa’ sendiri-sendiri, ertinya mempunyai sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan hal atau benda tertentu.

Menurut pandangan orang-orang Batak, ada tiga sumber kehangatan (panas) bagi manusia, yaitu matahari, api, dan Ulos. Tentu tidak akan menimbulkan pertanyaan jika dikatakan bahwa matahari dan api merupakan sumber panas, tetapi tidak demikian dengan kain Ulos. Adalah wajar jika kemudian orang-orang non Batak mempertanyakan kain Ulos sebagai sumber panas atau kehangatan.

Munculnya pandangan orang-orang Batak bahwa kain Ulos merupakan sumber panas terkait dengan suhu tempat di mana orang-orang Batak membangun tempat tinggalnya. Secara geografis, tempat tinggal orang Batak berada di kawasan pegunungan yang beriklim sejuk (http://www.silaban.net). Kondisi alam ini, menyebabkan panas yang dipancarkan oleh matahari tidak cukup memberikan kehangatan, terutama ketika malam hari. Oleh karenanya, orang Batak kemudian menciptakan sesuatu yang mampu memberikan kehangatan yang melepaskan mereka dari cengkraman hawa dingin. Dalam konteks inilah kain Ulos menjadi sumber panas yang memberikan kehangatan, baik kehangatan secara fisik maupun non fisik kepada orang Batak. Kehangatan kain Ulos tidak saja melindungi tubuh orang Batak dari udara dingin, tetapi juga mampu membentuk kaum lelaki Batak berjiwa keras, mempunyai sifat kejantanan dan kepahlawanan, dan perempuannya mempunyai sifat ketahanan dari guna-guna kemandulan.

Kain Ulos lahir dari pencarian orang-orang Batak yang hidup di daerah pegunungan yang dingin. Seiring berjalannya waktu, dari sekedar kain pelindung badan, Ulos berkembang menjadi lambang ikatan kasih, pelengkap upacara adat, dan simbol sistem sosial masyarakat Batak. Bahkan, kain ini dipercaya mengandung kekuatan yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan kepada pemakainya.

Berbagai jenis dan motif kain Ulos menggambarkan makna tersendiri. Tergantung sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan tertentu. Kapan digunakan, diberikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana. Bahkan, berbagai upacara adat seperti pernikahan, kelahiran, kematian, dan ritual lainnya tak pernah terlaksana tanpa Ulos (http://www.silaban.net/). Melihat peran sentral kain ulos tersebut, nampaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kain ulos merupakan bagian (baca: pelengkap) dari kehidupan orang Batak.

Bila kain ini dipakai oleh laki-laki, bagian atasnya disebut ande-hande, sedangkan bagian bawahnya disebut singkot. Sebagai penutup kepala disebut tali-tali, bulang-bulang, sabe-sabe atau detar. Namun terkait dengan nilai-nilai sakral yang melingkupi kain Ulos, maka tidak semua Ulos dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya Ulos Jugia, Sadum, Ragi Hotang, Ragidup, dan Runjat, hanya dapat dipakai pada waktu-waktu dan upacara tertentu. Dalam keseharian, laki-laki Batak menggunakan sarung tenun bermotif kotak-kotak, tali-tali dan baju berbentuk kemeja kurung berwarna hitam, tanpa alas kaki.

Bila Ulos dipakai oleh perempuan Batak Toba, bagian bawah disebut haen, untuk penutup punggung disebut hoba-hoba, dan bila dipakai sebagai selendang disebut ampe-ampe. Apabila digunakan sebagai penutup kepala disebut saong, dan untuk menggendong anak disebut parompa. Dalam kesehariannya, perempuan Batak memakai kain blacu hitam dan baju kurung panjang yang umumnya berwarna hitam, serta tutup kepala yang disebut saong.

Secara garis besar, ada tiga cara pemakaian Ulos, yaitu: pertama, siabithononton (dipakai). Ulos yang dipakai di antaranya: ragidup, sibolang, runjat, djobit, simarindjamisi, dan ragi pangko. Kedua, sihadanghononton (dililitkan di kepala atau bisa juga di jinjing). Ulos yang penggunaannya dililit di kepala atau bisa juga ditengteng di antaranya: sirara, sumbat, bolean, mangiring, surisuri, dan sadum. Ketiga, sitalitalihononton (dililit di pinggang). Ulos yang dililitkan di pinggang di antaranya: tumtuman, mangiring, dan padangrusa. Ketiga aturan pemakaian tersebut membawa pesan bahwa menempatkan Ulos pada posisi yang tepat merupakan hal yang sangat penting, tidak saja terkait dengan keserasian dalam berpakaian tetapi juga terkait dengan makna-makna filosofis yang dikandungnya. Dengan kata lain, Ulos tidak hanya berfungsi sebagai penghangat dan lambang kasih sayang, melainkan juga sebagai simbol status sosial, alat komunikasi, dan lambang solidaritas.

Terkait Ulos sebagai ekspresi kasih-sayang, maka dikenal ungkapan mangulosi. Dalam adat Batak, mangulosi (memberikan Ulos) melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima Ulos. Dalam hal mangulosi, ada aturan umum yang harus dipatuhi, yaitu mangulosi hanya boleh dilakukan kepada orang yang mempunyai status kekerabatan atau sosial lebih rendah, misalnya orang tua boleh mangulosi anaknya, tetapi sang anak tidak boleh mangulosi orang tuanya.

Demikian juga dengan Ulos yang hendak digunakan untuk mangulosi harus mempertimbangkan tujuan dari pemberian Ulos tersebut. Misalnya hendak mangulosi Boru yang akan melahirkan anak sulungnya, maka Ulos yang diberikan adalah Ulos Ragidup Sinagok. Demikian juga jika hendak mangulosi pembesar atau tamu kehormatan yang dapat memberikan perlindungan (mangalinggomi), maka Ulos yang digunakan adalah Ulos Ragidup Silingo.

Melihat begitu pentingnya fungsi Ulos dalam masyarakat Batak, maka upaya-upaya pelestarian harus segera dilakukan. Pelestarian tentunya tidak hanya dimaksudkan agar keberadaan kain tersebut tidak punah, tetapi juga merevitalisasinya sehingga memberikan manfaat (baca: kesejahteraan) bagi orang-orang Batak yang melestarikannya. Namun demikian, revitalisasi harus dilakukan secara hati-hati sehingga tidak melunturkan nilai-nilai yang dikandung oleh kain Ulos. Jangan sampai muncul gugatan, “Kami merasa sangat ngilu. Melihat Ulos diguntingi dan dipotong-potong. Dijadikan taplak meja, bahkan alas jok kursi untuk dihunduli. Itu pelecehan dan sangat tidak menghargai nilai budaya bangso Batak”.

Pelestarian dan revitalisasi tidak boleh hanya berorientasi pada nilai ekonomi saja, tetapi juga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga orang Batak tidak mengalami alienasi dan tercerabut dari akar lokalitasnya.

Secara umum, pembuatan kain Ulos terdiri dari mengani, tonum, dan manirat. Namun sebenarnya, proses pembuatannya tidak sesederhana itu karena setiap jenis Ulos membawa kerumitan-kerumitan tersendiri.

Pada dasarnya, sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahan-bahan untuk membuat kain Ulos adalah sama, yaitu kapas. Walaupun memiliki bahan dasar sama, tetapi ketika cara membuatnya berbeda, maka akan menghasilkan jenis Ulos yang berbeda, tidak saja pada jenis dan bentuknya, tetapi juga pada nilai dan fungsi yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan cara pembuatan, jenis dan fungsinya, terdapat beberapa macam Ulos, di antaranya adalah :

1. Ulos Jugia (Homitan).
Ulos Jugia disebut juga Ulos Naso Ra Pipot atau Pinunsaan. Ulos ini mengandung nilai budaya yang tinggi dan harganya sangat mahal. Oleh karenanya, Ulos ini biasanya disimpan di hombung atau parmonang-monangan (jenis lemari pada jaman dulu). Menurut kepercayaan orang Batak, Ulos ini hanya dapat dipakai oleh orang yang sudah saur matua atau naung gabe (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan). Namun walaupun telah mempunyai cucu, seseorang belum masuk kategori saur matua jika masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai keturuan, walaupun telah mempunyai cucu dari anaknya yang lain.

Sulitnya persyaratan untuk dapat memakai Ulos Jugia menyebabkan Ulos ini menjadi benda langka sehingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos ini sering menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya, dan nilainya sama dengan sitoppi (emas yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta).

2. Ulos Ragidup
Pembuatan Ulos Ragidup harus selesai dalam waktu tertentu menurut hatiha Batak (kalender Batak). Bila dimulai artia (hari pertama), maka harus selesai di tula (hari tengah dua puluh). Oleh karena pembuatannya dibatasi oleh waktu, maka pembuatan Ulos jenis ini dilakukan secara gotong royong oleh lima orang. Jumlah lima orang berdasarkan pada kain Ulos Ragidup yang terdiri dari lima bagian, yaitu: atas, bawah, kiri, kanan dan tengah. Kedua sisi, kiri dan kanan Ulos (ambi), dikerjakan oleh dua orang, demikian juga dengan bagian atas dan bawah (tinorpa). Sedangkan bagian tengah atau badan Ulos (tor) dikerjakan oleh satu orang. Sehingga secara keseluruhan Ulos ini dikerjakan oleh lima orang. Kemudian, hasil kerja kelima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut Ulos Ragidup.

Warna, lukisan, serta coraknya (ragi) memberi kesan seolah-olah Ulos ini benar-benar hidup, sehingga orang menyebutnya Ragidup, yaitu lambang kehidupan. Oleh karenanya, setiap rumah tangga Batak mempunyai Ulos Ragidup. Selain lambang kehidupan, Ulos ini juga lambang doa restu untuk kebahagian dalam kehidupan, terutama dalam hal keturunan, yakni banyak anak (gabe) bagi setiap keluarga dan panjang umur (saur sarimatua). Dalam upacara adat perkawinan, Ulos Ragidup diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada ibu pengantin lelaki sebagai Ulos Pargomgom yang maknanya adalah permohonan izin kepada Tuhan agar si pengantin dapat hidup bersama.

Ada yang berpendapat bahwa Ulos Ragidup nilainya setingkat di bawah Ulos Jugia. Namun ada juga yang beranggapan bahwa Ulos Ragidup merupakan Ulos yang paling tinggi nilainya karena selalu digunakan dalam upacara adat Batak, baik upacara duka cita maupun upacara suka-cita.

Ulos biasanya dipakai oleh golongan bangsawan (raja) dan masyarakat menengah ke atas. Pada jaman dahulu juga dipakai untuk mangupa tondi (mengukuhkan semangat) anak yang baru lahir. Selain itu, Ulos ini biasanya dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah) yang sedang mengadakan upacara. Dengan memakai Ulos ini akan jelas kelihatan siapa tuan rumahnya.

Pada upacara perkawinan, Ulos ini biasanya diberikan sebagai Pansamot, yaitu pemberian dari orang tua pengantin perempuan kepada orang tua pengantin laki-laki. Di beberapa daerah, Ulos Ragidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.
Jika ada orang tua yang meninggal dunia, maka Ulos Ragidup ini hanya boleh dipakai oleh anak tertua, sedangkan anak yang lainnya hanya boleh memakai Ulos Sibolang. Ulos ini juga bisa digunakan untuk Panggabei (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada kondisi ini, Ulos Ragidup mempunyai derajat yang sama dengan Ulos Jugia.

3. Ragihotang
Ulos Ragihotang merupakan Ulos yang mempunyai ragi (corak) rotan (hotang). Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin, sehingga disebut juga Ulos Marjabu. Tujuan pemberian Ulos ini adalah agar ikatan batin kedua pengantin seperti rotan. Pemberian Ulos ini kepada si pengantin dengan cara disampirkan dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan laki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan di tengah dada seperti terikat.

Ulos ini juga digunakan untuk mangulosi seseorang yang dianggap picik, dengan harapan agar Tuhan memberikannya kebaikan sehingga orang tersebut rajin berkerja. Dalam upacara kematian, Ulos ini dipakai untuk membungkus jenazah, sedangkan dalam upacara penguburan kedua kalinya, digunakan untuk membungkus tulang-belulangnya. Oleh karenanya, Ulos ini mempunyai derajat yang cukup tinggi.

4. Ulos Sadum
Ulos Sadum biasanya dipakai dalam acara-acara yang penuh keceriaan. Hal ini dikarenakan Ulos ini mempunyai ragam warna yang cerah. Begitu indahnya Ulos ini sehingga sering digunakan sebagai hiasan dinding atau diberikan sebagai kenang-kenangan, khususnya kepada pejabat yang berkunjung ke daerah Batak.

Di Tapanuli Selatan, Ulos ini biasanya dipakai sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja. Selain itu, Ulos ini juga digunakan sebagai alas sirih di atas piring besar (pinggan godang burangir/harunduk panyurduan) untuk mengundang (marontang) raja-raja.

5. Ulos Runjat
Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang ketika edang-edang (menghadiri undangan). Selain itu, Ulos ini juga dapat diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat, misalnya oleh Tulang (paman), pariban (kakak pengantin perempuan yang sudah kawin), dan pamarai (pakcik pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu mangupa-upa dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni roha).

6. Ulos Sibolang
Ulos ini dapat dipakai baik ketika berduka atau bersuka cita. Untuk dipakai pada saat berduka-cita, biasanya dipilih Ulos Sibolang yang warna hitamnya menonjol, sedangkan bila bersuka cita dipilih yang warna putihnya menonjol.

Dalam upacara perkawinan, Ulos ini biasanya dipakai sebagai tutup ni ampang dan juga dapat disandang. Jika digunakan dalam upacara perkawinan, biasanya dipilih yang warna putihnya menonjol. Ulos Sibolang yang digunakan dalam upacara perkawinan, biasanya disebut Ulos Pamontari.

Oleh karena Ulos ini dapat dipakai dalam semua kegiatan adat Batak, maka Ulos ini dianggap oleh sebagian orang Batak sebagai Ulos yang paling tinggi nilai adatnya. Namun demikian, Ulos ini kurang tepat dipakai sebagai Ulos Pangupa atau Parompa.

7. Ulos Suri-suri Ganjang.
Disebut Ulos Suri-suri Ganjang (biasanya orang Batak hanya menyebutnya Ulos Suri-suri) karena coraknya berbentuk sisir memanjang. Dahulu Ulos ini dipergunakan sebagai ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul gendang) Ulos ini dipakai hula-hula untuk menyambut anak boru. Ulos ini juga dapat diberikan sebagai “Ulos Tondi” kepada pengantin. Ulos ini juga sering dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe. Keistimewaan Ulos ini adalah panjangnya yang melebihi Ulos biasa. Bila dipakai sebagai ampe-ampe bisa mencapai dua kali lilit pada bahu kiri dan kanan sehingga si pemakai seakan mengenakan dua Ulos.

8. Ulos Mangiring
Ulos ini mempunyai corak saling beriringan, yang melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Oleh karenanya, Ulos ini biasanya digunakan oleh seseorang sebagai Ulos Parompa kepada cucunya. Pemberian ini sebagai simbol bahwa si cucu akan diikuti pula oleh kelahiran adik-adiknya yang akan menjadi teman seiring-sejalan.

Ulos ini juga dapat digunakan sebagai pakaian sehari-hari. Bagi kaum laki-laki dalam bentuk tali-tali (detar), sedangkan bagi kaum wanita dapat dipakai sebagai saong (tudung). Pada waktu upacara mampe goar (pembaptisan anak), Ulos ini juga dapat dipakai sebagai bulang-bulang oleh hula-hula kepada menantunya.

9. Bintang Maratur
Ulos Bintang Maratur sebagaimana namanya mempunyai ragi yang menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jenis ragi ini bermakna kepatuhan dan kerukunan dalam ikatan kekeluargaan. Selain itu, juga bermakna tingkatan sama rata dalam hal sinadongan (kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan). Ulos ini dapat dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe), tali-tali, atau saong. Ulos ini mempunyai nilai dan fungsi yang sama dengan Ulos Mangiring.
10. Sitoluntuho-Bolean
Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai Ulos Parompa. Jenis Ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan, yang dalam istilah adat Batak dikatakan sebagai Ulos Panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya yang berjejer tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai untuk melubangi tanah guna menanam benih.

11. Ulos Jungkit
Ulos Jungkit mempunyai hiasan yang terbuat dari permata. Oleh karenanya, Ulos ini juga disebut Ulos Nanidondang atau Ulos Paruda (permata). Pada zaman dahulu, Ulos ini dipakai oleh para anak gadis dan keluarga raja-raja untuk hoba-hoba, menerima tamu pembesar kerajaan, atau pada saat melangsungkam resepsi perkawinan. Namun karena permata semakin sulit didapat, maka bentuk ragi permata pada Ulos ini diganti dengan cara manjungkit (mengkait) benang Ulos. Oleh karena proses pembuatannya sangat sulit, maka Ulos ini merupakan barang langka, dan saat ini sudah sangat sulit untuk menemukannya.
12. Ulos Lobu-Lobu
Ulos Lobu-Lobu merupakan Ulos yang digunakan untuk fungsi khusus, misalnya oleh orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak). Oleh karenanya, Ulos ini tidak pernah diperdagangkan dan orang yang membutuhkan biasanya memesan langsung kepada pengrajinnya. Selain itu, Ulos ini biasanya disimpan diparmonang-monangan, sehingga tidak cukup banyak orang yang mengenal jenis Ulos ini.

Bentuk Ulos ini seperti kain sarung dan rambunya tidak boleh dipotong. Ulos ini juga disebut Ulos giun hinarharan. Jaman dahulu para orang tua sering memberikan Ulos ini kepada anaknya yang sedang mengandung (hamil tua). Tujuannya agar nantinya anak yang dikandung lahir dengan selamat.

Selain keduabelas jenis tersebut, Ulos Batak masih mempunyai banyak macam dan coraknya, seperti: Ragi Panai, Ragi Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul, dan Ulos Takkup. Menurut orang-orang tua, ragam Ulos Batak mencapai 57 jenis.

Menurut adat yang berkembang dalam masyarakat, setiap orang Batak akan menerima minimal tiga macam Ulos dalam hidupnya, yaitu sewaktu baru lahir (Ulos Parompa atau Ulos Paralo-Alo Tondi), kawin (Marjabu atau Hela), dan saat meninggal dunia (Ulos Saput). Oleh karena setiap orang pasti mendapatkan ketiganya, maka Ulos ini juga disebut na marsintuhu (Ulos keharusan).
Perspektif Teoritik
Manusia yang selalu mengalami perubahan, dari proses kehidupan sehari-hari sampai dengan ritual-ritual yang dilakukan dalam peringatan hal-hal yang dianggap sangat berarti, penting atau pun mempunyai nilai suci. Ritual yang dilakukan berbeda-beda bentuk dan prosesinya, hal ini mempertimbangkan ritual apa yang akan dilaksanakan. Kehidupan manusia sejak dalam kandungan, kelahiran, perkawinanan sampai dengan kematian dipenuhi oleh ritual-ritual.

Komunikasi yang bersifat ekspresif menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi). Perasaan-perasaan tersebut terutama dikomunikasikan melalui pesan-pesan nonverbal (Mulyana, 2002: 21-22) Simbol non verbal ini dapat saja berupa benda yang dianggap suci (sacred).

Simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respon manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya ketimbang dalam pengertian stimulasi fisik dan alat-alat inderanya. (Mulyana, 2001 : 77). Dalam hal ini, Peirce mengamukakan bahwa simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandai (petanda) sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya (dalam Sobur, 2003: 156).

Dalam “bahasa” komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang, yakni sesuatu yang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. Ogden dan Richards (dalam Aminuddin, 1997: 2005-2006) menyatakan simbol memiliki hubungan asosiatif dengan pikiran atau referensi, simbol dan dunia acuan.

Sebagai peserta komunikasi, manusia itu unik karena mampu memanipulasi simbol-simbol berdasarkan kesadarannya. Mead menekankan pentingnya komunikasi, khususnya melalui mekanisme isyarat vokal (bahasa), meskipun teorinya bersifat umum. Isyarat vokal-lah yang potensial menjadi seperangkat simbol yang membentuk bahasa. Makna suatu simbol bukanlah pertama-tama ciri fisiknya, namun apa yang orang dapat dilakukan mengenai simbol tersebut. Dengan kata lain sebagaimana dikatakan Shibutani (dalam Mulyana, 2001: 77) “makna pertama-tama merupakan properti perilaku dan kedua merupakan properti objek”. Dengan demikian, semua objek simbolik menyarankan suatu rencana tindakan (plan of action) dan bahwa alasan untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu terhadap suatu objek antara lain diisyaratkan oleh objek tersebut.

Lambang atau simbol yan ditimbulkan oleh manusia dapat dibedakan atas simbol yang bersifat verbal dan nonverbal (Pateda, 2001: 48). Simbol verbal adalah simbol-simbol yang digunakan sebagai alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara. Sedangkan simbol nonverbal dapat berupa 1) simbol yang menggunakan anggota badan, lalu diikuti dengan lambang, 2) suara, 3) benda-benda yang bermakna kultural dan ritual.

Kajian Pustaka
Dalam rangka menjalin komunikasi yang berdasarkan pada keseragaman makna, manusia dalam interaksi sosial selalu berupaya mencocokkan apa yang ada dalam pikirannya dengan apa yang sedang terjadi pada lingkungannya, artinya manusia dalam proses komunikasi bukan sekedar penerima lambang atau simbol-simbol yang dilihat, didengar atau yang dirabanya secara pasif, melainkan individu secara aktif mencoba mengadakan interpretasi terhadap lambang, simbol atau tanda tersebut. Upaya interpretasi itu adalah bagian interaksi yan dapat dilakukan dalam rangka menjalin komunikasi antara pengirim pesan dengan penerima pesan, dan interaksi interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap pesan yang disampaikan di antara peserta komunikasi tetapi interaksi interpretasi juga dilakukan terhadap dirinya sendiri, karena orang tidak hanya menyadari orang lain tetapi juga mampu menyadari dirinya sendiri (Poloma, 1994: 257).

Dalam interaksi individu dengan individu lainnya akan diperlukan suatu media yang akan dipergunakan simbol-simbol baik yang bersifat melekat pada diri sendiri, misalnya mimik muka, berbicara gesture yang merupakan bentuk simbol yang melekat pada diri. Sedangkan simbol yang diluar diri misalnya cara seorang menggunakan pakaian dapat merupakan sebagai petunjuk identitasnya.

Tidak semua benda yang akan menjadi simbol dari komunikasi, akan tetapi dalam suatu kondisi tertentu setiap benda yang dipergunakan akan dapat menjadi simbol komunikasi, seperti asap pada suatu saat bisa dijadikan simbol. Suku Indian di Amerika Serikat asap dapat dijadikan simbol suatu penyerangan atau persahabatan, asap tersebut dibentuk sedemikian rupa, dibentuk dengan kepulan yang meliuk-liuk.

Simbol pertama-tama bertempat dalam suatu tindakan, ketika dalam kontak hidup anta dua orang, simbol dapat hidup sendiri. Dalam kontak tersebut, tindakan sebagai simbolis merupakan suatu komunikasi yang sangat penting dan efektif. Disini simbol dipraktekkan, karena merupakan petunjuk jalan yang memberi arah kepada perjalanan kita, alat transformasi, untuk sesuatu (Van Peusen dalam Dick Hartoko, 1976: 21).

Tindakan simbolis hanya mungkin sebagai komunikasi antara manusia yang sangat sederhana, hubungan itu ditentukan dua orang, akan tetapi manusia sebagai makhluk sosial cenderung untuk berkelompok, hidup dalam suatu komunitas tertentu. Simbol-simbo semakin berkembang, semakin dipahami bersama melalui interaksi yang lebih luas, simbol pun bukan menjadi milik individu lagi, akan tetapi lebih bersifat komuniter dan menjadi milik bersamadalam komunitas penduduk yang mendukung kebudayaan tertentu.

Komunitas manusia memanfaatkan suatu simbol yang sangat berperan penting untuk dapat berkomunikasi. Simbol adalah tanda yang khusus bersifat arbitrier artinya bersifat manasuka atau tidak sama dengan yang ditandai. Simbol hanya bisa dimengerti dalam konteks yang ditafsirkan oleh kebudayaan itu sendiri, bersifat cultur spesific.

Kain Ulos tidak sekedar hasil kerajinan yang mempunyai tampilan indah, tetapi juga merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat. Dengan kata lain, dengan mengetahui dan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam kain Ulos, maka kita akan mengetahui apa dan siapa orang Batak. Oleh karenanya, upaya pelestarian kain Ulos baik secara fisik maupun nilai-nilai yang dikandungnya harus segera dilakukan. Atau, generasi Batak akan teralienasi karena tercerabut dari akar lokalitasnya.

Secara garis besar, ada empat nilai yang dapat kita ambil dari kain Ulos, yaitu: kearifan lokal, keyakinan, tata aturan, dan kasih sayang.
Pertama, kain Ulos merupakan manifestasi dari pengetahuan lokal masyarakat Batak. Kondisi geografis alam tempatan orang Batak yang berhawa cukup dingin menyebabkan matahari dan api tidak cukup memberi kehangatan, kondisi ini telah menggugah orang-orang Batak untuk mencari dan menciptakan sumber kehangatan baru, yaitu kain Ulos. Oleh karenanya, penggunaan kapas sebagai bahan baku utama untuk membuat kain Ulos, bukan suatu kebetulan, tetapi merupakan proses panjang dari sebuah pencarian. Demikian juga pewarna kain yang dibuat dari bahan-bahan alami.

Kedua, pengetahuan lokal tersebut terus berkembang dan akhirnya menjadi falsafah hidup orang Batak. Menurut orang Batak, ada tiga sumber kehangatan, yaitu: matahari, api, dan Ulos. Eksistensi kain Ulos semakin kuat ketika ia menjadi bagian penting dari upacara-upacara adat yang dilakukan oleh orang Batak. Akhirnya, kain Ulos menjadi kain sakral yang menjadi simpul keyakinan orang Batak kepada Tuhan.

Ketiga, kain Ulos sebagai sumber tertib sosial (baca: tata aturan). Beragam Ulos dengan segenap raksa yang terkandung di dalamnya, jika dikaji secara serius, ternyata merupakan sumber untuk melakukan tertib sosial dalam masyarakat Batak. Ulos Jugia, Ragidup, dan Ragihotang misalnya, mengandung tata aturan bagaimana hidup bermasyarakat dan bagaimana tertib sosial dijaga dalam masyarakat. Mengapa Ulos Jugia hanya boleh dipakai oleh kakek yang telah mempunyai cucu, mengapa Ulos ragidup harus dipakai oleh tuan rumah dalam kegiatan kemasyarakatan, dan mengapa Ulos Sadum harus dijadikan alas sirih ketika menyambut raja. Dengan kata lain, keberadaan beragam jenis Ulos tersebut, merupakan cara masyarakat Batak menjaga harmoni sosial.

Keempat, kain Ulos sebagai pertanda kehangatan (baca: kasih sayang) orang Batak. Pemberian Ulos (mangulosi) agar orang yang diberikan terlepas dari serangan dingin yang menggrogoti tulang merupakan cara orang Batak mengungkapkan kasih sayangnya. Dengan memberikan Ulos, maka ia telah melindungi orang-orang yang dikasihinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar