Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia - 11
Jumat, 21 Oktober 2011Korban peristiwa G-30S/PKI. |
Soekarno, lelaki flamboyan kelahiran Blitar, Jawa Timur, memang tak dapat dilepaskan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sejak mahasiswa, ia telah terlibat dalam perjuangan anti-kolonialisme, sehingga sempat merasakan pengapnya penjara Sukamiskin dan beberapa tempat pembuangan. Sepak-terjangnya pun banyak yang kontroversial. Ketika Jepang menjajah Indonesia, ia ‘bekerja sama‘ dengan negeri Matahari Terbit itu, sehingga ribuan rakyat Indonesia dikirim ke kamp kerja paksa romusha. Setelah Indonesia merdeka, ia dan Bung Hatta bekerja sama menyingkirkan Muso, sahabatnya sendiri ketika masih di Surabaya. Memasuki usia 50-an, ia mulai berseberangan dengan Hatta, sehingga pasangan yang beken disebut Dwi Tunggal itu retak, dan ‘bermesra-mesraan’ dengan komunis. Ia pun akhirnya terjungkal dari tampuk kekuasaan dengan cara yang amat menyedihkan.
Peran Soekarno pada 1950-1960-an dalam jagat perpolitikan internasional terbilang cukup menonjol. Bersama Nehru, Castro, Tito dan yang lainnya, ia memelopori berdirinya poros baru di luar poros Amerika Serikat (AS) dan sekutu-kutunya (Blok Barat), serta Uni Soviet bersama konco-konconya (Blok Timur). Poros itu kemudian dikenal dengan sebutan Non Blok. Poros baru ini menentang segala bentuk kolonialisme, namun kemudian banyak yang melihat, terutama AS dan antek-anteknya, bahwa orientasi politik Soekarno cenderung ke kiri alias ke Blok Timur. Ini tercermin dari program nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di Indonesia, kampanye ganyang Malaysia dan operasi Pembebasan Irian Barat yang dianggap merugikan kepentingan Barat. Apalagi karena selain merupakan basis utama kristenisasi, kala itu Barat, khususnya AS, telah tahu kalau di bumi Papua terkandung bahan tambang yang melimpah ruah, termasuk emas. Lebih parah lagi, kala itu pun tanpa tedeng aling-aling Soekarno menjalin hubungan baik dengan pempimpin China, Mao Zedong.
Tak ayal, Blok Barat kebakaran jenggot. Tentang hal ini, dalam buku berjudul ‘Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto’, John Rossa menulis begini;
“Bagi mereka (AS), Presiden Soekarno merupakan sebuah kutukan. Politik luar negerinya yang bebas aktif (yang dipermanenkan pada Konferensi Asia-Afrika 1955), hujatan berulang kali terhadap imperialisme Barat, dan kesediaannya merangkul PKI sebagai bagian integral dalam politik Indonesia, ditafsirkan Washington sebagai bukti kesetiaan Soekarno kepada Moskow dan Beijing. Einshower dan Dulles bersaudara-Allen sebagai kepala CIA dan John Foster sebagai kepala Departemen Luar Negeri-memandang semua pemimpin nasionalis Dunia Ketiga yang ingin netral di tengah-tengah perang dingin, sebagai antek-antek komunis”.
Kondisi yang tak menguntungkan ini membuat AS dan konco-konconya mencari cara untuk menyingkirkan Soekarno, sebuah cara yang sangat halus, rapih, dan terkoordinir dengan sangat baik agar pihak luar, bahkan bangsa Indonesia sendiri, tak tahu kalau mereka lah otak penggulingan ini. Cara yang tepat untuk hal ini tentu saja cara yang biasa digunakan intelijen. Maka, menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, CIA pun diberi kepercayaan untuk menyusun rencana penggulingan ini, dan CIA melibatkan semua agennya, terutama Pater Beek.
Semula, keterlibatan Beek dalam penggulingan Soekarno hanya dianggap sebagai fiksi belaka, namun setelah Aad van den Heuval, mantan presenter radio dan televise KRO, merilis laporan berjudul ‘Dit was Bradpunt, Goedenavond' (Demikianlah, Fokus Kali Ini, Selamat Malam) pada 2005, publik Eropa sekalipun langsung percaya kalau Beek memang terlibat dalam penggulingan itu.
Dalam laporan yang didasari hasil penelitian itu, Heuvel dengan yakin memaparkan bahwa penggulingan terhadap Soekarno merupakan hasil kerja sama Beek dengan Soeharto dan dua orang terdekatnya; Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani. Tulisan Heuval ini layak diyakini keakuratannya karena juga didasari hasil wawancara dengan Beek.
(bersambung ...)
Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia – 12
Sabtu, 22 Oktober 2011Aad van den Heuvel. |
Soal pertemuannya dengan Beek, Heuvel memaparkan begini;
“Pada perjalanan saya yang pertama ke Indonesia, saya berkenalan dengan dia (Pater Beek), bersama-sama rekan Ed van Westerloo. Kami melakukan kontak dengan dia melalui seorang misionaris-Pater Wolbertus Daniels, yang telah menyelesaikan masa magangnya di KRO dan akan mendirikan radio di Indonesia. Pater Wolbertus meminta kepada kami untuk langsung bertanya kepada pastur yang mengetahui, bila ingin mengetahui kondisi politik, yang bertempat tinggal di Gunung Sahari, Jakarta. Di sana kami mendengar cerita dalam kejutan yang terus bertambah. Selanjutnya, setiap tahun kami mengunjunginya. Bisa dikatakan dia sudah menjadi informan kami yang terpenting. Pada kenyataannya, dia adalah wakil pihak ketiga”.
Bagi wartawan KRO itu, bertemu Pater Beek bagaikan sebuah berkah karena darinya, dia mendapatkan informasi-informasi maha penting dan eksklusif. Ini diakui sendiri oleh Heuvel dengan pernyataannya yang sebagai berikut;
“Bagi para wartawan KRO, sang pastur (Beek) benar-benar merupakan berkah yang jatuh dari langit. Ia dapat menyingkapkan masalah-masalah tidak hanya sekedarnya saja. Sepanjang pertemuan-pertemuan tersebut, kami menandai bahwa dia adalah otak dari pembalikan itu. Misalnya, apabila kami ingin bicara dengan Opsus-sejenis dinas rahasia- maka dia dapat membuatnya menjadi mungkin”.
Maka, sejak laporan-laporan Heuvel mengudara di Belanda, dan kemudian dituangkan dalm buku, kekejian dan kelicikan Pater Beek dalam tragedi G-30S/PKI, tragedi paling mengenaskan dalam sejarah negeri ini, serta kejadian-kejadian yang mengikutinya, mulai terkuak. Tak ayal, buku Heuvel menjadi pergunjingan di Belanda. Sayang, pemerintah Indonesia hingga kini sama sekali tidak meneliti secara lebih mendalam isi buku itu agar sejarah bangsa ini menjadi terang benderang. Entah, apakah karena setelah era Orde Baru tumbang pada 1998, pemerintah memutuskan untuk tetap menyembunyikan identitas orang itu, atau ada alasan lainnya. Bahkan buku-buku tentang G-30S/PKI yang telah diterbitkan pun semuanya tidak ada yang menyinggung secara detil dan komprehensif soal peranan Beek dalam tragedi yang menewaskan ribuan orang itu, termasuk sejumlah jenderal yang mayatnya dibenamkan dalam sebuah sumur di Lobang Buaya, Jakarta Timur.
Saat diwawancarai Heuvel, Beek mengaku kalau ia sangat prihatin terhadap komunisme dan Islam di Indonesia yang menurutnya sudah membahayakan. Oleh karena itu, ia berniat “menyelamatkan” minoritas Katolik di Indonesia.
Dari pernyataan ini saja sulit membantah bahwa Beek tidak memiliki peranan apa-apa dalam tragedi G-30S/PKI yang berujung pada penggulingan Soekarno dan naiknya Soeharto menjadi presiden kedua RI. Apalagi karena dalam buku berjudul ‘Tionghoa dalam Pusaran Politik’, Benny G. Setiono antara lain menulis begini;
"Pater Beek, menurut pengakuannya sendiri kepada Oei Tjoe Tat, menjadi otak dan konseptor pendongkelan Presiden Soekarno karena ia sangat membenci komunisme …”
Selain itu, dalam artikel yang diterbitkan harian Belanda, De Telegraaf, pada 20 Juli 1993, Jos Hagers mengatakan bahwa Pater Beek adalah otak kudeta 1965 yang bertujuan untuk memancing perebutan kekuasaan oleh Jenderal Soeharto dan memungkinkan pendongkelan Presiden Soekarno.
(bersambung …)
Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia - 13
Senin, 24 Oktober 2011Pater Beek. |
Lalu beredar beragam isu yang membuat politik Indonesia makin membara. Yang signifikan adalah isu pembentukan Dewan Jendral, isu tentang ketidakpuasan beberapa petinggi Angkatan Darat terhadap Soekarno, dan berniat untuk menggulingkannya. Soekarno disebut-sebut sempat memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan mengadili para jenderal itu. Namun siapa sangka, isu inilah yang menjadi pemantik peristiwa dahsyat dalam sejarah Indonesia; G-30/S PKI pada 30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 dinihari.
Dalam kejadian ini, enam jenderal dibunuh dan mayatnya dicemplungkan ke dalam sumur tua di Lobang Buaya, Jakarta Timur. Dalam buku-buku sejarah yang diterbitkan saat era Orde Baru, disebutkan bahwa PKI lah pelaku utama peristiwa itu dalam rangka mengambil alih kekuasaan. Apalagi karena menjelang kasus itu meledak, semua anggota PKI, termasuk yang di daerah-daerah, telah mengetahui akan adanya kejadian itu.
Namun, jika merujuk pada artikel Jos Hagers yang diterbitkan De Telegraaf, jelas sekali kalau kasus ini bisa jadi akibat ulah Beek. Apalagi karena selain Beek telah memiliki pion di Angkatan Darat, isu Dewan Jenderal juga menyebut-nyebut kesatuan itu.
Yang lebih menarik, seperti diungkap Richard Tanter, Beek telah menyiapkan sejumlah langkah setelah kasus itu meledak. Begini kata Tanter;
“Pada periode menjelang peristiwa 1965, (Pater) Beek sudah mengantisipasi soal perebutan kekuasaan oleh kaum komunis dan ia terlibat dalam persiapan gerakan Katolik bawah tanah. Dalam periode akhir Demokrasi Terpimpim, Djikstra juga terlibat dalam ormas-ormas Pancasila yang anti-komunis. (Pater) Beek dan sekutunya dalam gerakan ini membangun koperasi-koperasi berbasiskan di desa, koperasi simpan pinjam, bank, dan lain sebagainya. Tiap jaringan anti-komunis tersebut memiliki koordinator untuk masalah-masalah sosial. Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) juga menjadi bagian basis gerakan serta aktivitas kader-kader mereka. Fokus utama Beek adalah pada pelatihan bagi aktivitas-aktivitas semacam itu, dan bukannya keterlibatan secara langsung”.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengatakan, mereka yang digerakkan Beek untuk membentuk organisasi-organisasi itu adalah para mahasiswa Katolik yang telah dipersiapkan melalui Kasbul. Bahkan sebagai tindak lanjut, pada 3 Oktober 1965 para mahasiswa itu membentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan GESTAPU (KAP-GESTAPU) yang pada 23 Oktober 1965 berganti nama menjadi Front Pancasila. Ketua umumnya Subchan Z.E, dan sekjennya Harry Tjan Silalahi, salah seorang kader Beek.
Setelah Front Pancasila terbentuk, organisasi-organisasi lain juga terbentuk. Di antaranya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI). Bersama Front Pancasila, organisasi-organisasi melakukan demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI dan semua organisasi underbouw-nya. Tuntutan mereka dipertegas dalam resolusi Front Pancasila saat menggelar Rapat Raksasa Pengganyangan Kontra Revolusi pada 9 November 1965 di Lapangan Banteng, Jakarta. Resolusi ini antara lain berisi tuntutan agar PKI dibubarkan dan tokoh-tokohnya diajukan ke pengadilan. Resolusi diserahkan secara langsung kepada wakil pemerintah yang hadir di tempat itu.
Dari semua organisasi mahasiswa tersebut, yang paling fenomenal adalah pembentukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) karena organisasi yang dibentuk pada 25 Oktober 1965 ini merupakan organisasi yang dibentuk berkat kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb. Organisasi-organisasi tersebut adalah HMI, PMII, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapacas), dan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). ‘Bermainnya tangan’ Beek di organisasi ini terlihat dari dominasi kader pastur itu di organisasi ini. Bahkan ketua presidium organisasi ini adalah kader orang itu, yakni Cosmas Batubara.
Sembodo menegaskan. Cosmas termasuk kader Beek yang giat menggalang aksi mahasiswa untuk mempercepat tergulingnya Soekarno dan hancurnya PKI. Sembodo bahkan berani menyebut bahwa KAMI lah organisasi yang menjadi poros utama Beek untuk menciptakan puting beliung yang menghancurkan Soekarno dan komunis.
Masih menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Van den Heuval dalam laporan-laporannya menjelaskan, Beek mulai menggalang kekuatan mahasiswa sejak mengajar di Universitas Admajaya. Dari sini lah ia membangun sel-sel di kalangan mahasiswa karena menyadari, selain tentara, mahasiswa merupakan kekuatan besar yang dapat digerakkan. Terbukti, ketika para pendukung Soekarno, terutama tentara, bereaksi, mahasiwa lah yang dikerahkan untuk memukul balik reaksi itu.
Peranan Beek dalam pengorganisasian mahasiswa untuk menggulingkan Soekarno dibenarkan ISAI melalui hasil investigasinya yang dipublikasikan dalam buku berjudul ‘Bayang-bayang PKI’. Dalam buku itu tertulis begini;
“Selama bertahun-tahun Pater Beek memang telah menghimpun dan membina anak-anak muda, terutama mahasiswa, untuk ditempa sebagai kekuatan anti-komunis. Basis utamanya adalah PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) yang saat itu merupakan underbouw Partai Katolik. Tokoh-tokoh PMKRI pula yang kemudian banyak terlibat dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Dengan pengaruh dan jaringan anti-komunis yang kuat itu, tak heran banyak dugaan bahwa Pater Beek memainkan peranan penting dalam gerakan anti-komunis. Antara lain, ia sering disebut-sebut sebagai penghubung antara AD dengan CIA”.
(bersambung …)
Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia - 14
Selasa, 25 Oktober 2011Pater Beek. |
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo menjelaskan, kala gerakan KAMI semakin membesar untuk menggulingkan Soekarno, Pater Beek muncul di antara para demonstrannya di jalan-jalan raya di Jakarta. Richard Tanter bahkan menyatakan begini soal kemunculan Beek di tengah orang-orang yang dikerahkannya itu;
“Keterlibatan aktif Beek pada masa itu secara fisik dalam demonstrasi-demonstrasi di jalan raya Jakarta, sehingga nyaris menyelubungi latar-belakangnya sebagai orang asing”.
Dengan kata lain, Beek muncul ke hadapan publik dengan cara menyamar, sehingga orang-orang tak dapat mengenali kalau dia sesungguhnya bukan pribumi. Luar biasa!
Strategi KAMI untuk menggulingkan Soekarno sangat halus. Pada awal gerakan, organisasi ini seolah-olah mendukung sang the founding father dan hanya menuntut pembubaran PKI. Akan tetapi, ketika Soekarno tidak memedulikan tuntutan itu, maka strategi diubah. Mereka mulai melancarkan perang terbuka terhadap Soekarno dengan cara menggelar demonstrasi secara bertubi-tubi untuk mendesak Soekarno mengundur diri sebagai presiden. Soekarno tentu saja naik pitam dan meminta agar KAMI dibubarkan.
Saat KAMI terpojok begini lah Beek mengefektifkan sel-selnya yang telah ditanam di pemerintahan. Dalam buku berjudul ‘Army and Politics in Indonesia’, Harold Crouch memaparkan, alih-alih membubarkan KAMI, Soekarno justru memindahkan markas organisasi itu dari kampus UI ke Komando Tempur II Kostrad dimana Opsus (Operasi Khusus) yang dipimpin Ali Mutopo berkantor. Maka, seperti mendapat perlindungan, pemimpin KAMI seperti Cosmas Batubara menjadi aman di sana. Bahkan dari sana pula gerakan KAMI dapat ‘dikendalikan’ oleh Ali Murtopo, dan kembali dikobarkan.
Dalam bukunya, Harold Crouch menulis, Ali Murtopo tidak sendiri dalam mengobarkan kembali aksi KAMI itu, tapi dibantu oleh Kemal Idris dan Sarwo Edhi. Bahkan agar terkesan gerakan KAMI mendapat dukungan luas dari masyarakat dan jumlah peserta demonstrasi semakin lama semakin banyak, Ali Murtopo membagi-bagikan jaket kuning yang serupa dengan jaket almamater UI, kepada mahasiswa dari kampus lain agar mereka dapat ikut serta berdemo. Crouch menyebut, jaket itu berasal dari CIA.
Tentang pembagian jaket almamater UI palsu itu diungkap Manai Sophian dalam buku ‘Bayang-bayang PKI’. Katanya:
“Saya punya dua jaket kuning yang didatangkan dari Hawai itu. Saya simpan, akan saya kasih tunjuk kalau ada orang yang tidak percaya. Jaket kuning itu dipakai anak-anak sekolah di Amerika menjelang musim dingin dan dipakai juga oleh sheriff. Lantas didatangkan ke sini. Dan oleh Ali Murtopo disuruh dibagi-bagikan. Jaket kuning ini memang bukan jaket kuning UI”.
Ketika akhirnya Soekarno benar-benar membekukan KAMI, Ali Murtopo membentuk dua organisasi baru untuk melancarkan demonstrasi anti-Soekarno selanjutnya, yaitu KAPPI dan Laskar Arif Rahman Hakim. Demonstrasi besar-besaran ini lah yang memaksa Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), surat yang aslinya hingga kini masih misterius keberadaannya, dan menjadi pertanda awal kejatuhan sang the founding father.
(bersambung …)
Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia - 15
Rabu, 26 Oktober 2011Monumen Lubang Buaya. |
Pembunuhan enam jenderal dalam peristiwa G-30 S/PKI membuat Angkatan Darat mengalami kekosongan kepemimpinan, dan ‘tangan-tangan’ Beek di sekitar Soekarno yang mendorong agar Soeharto ditunjuk untuk mengatasi ‘pemberontakan para PKI’, membuat Soekarno mengeluarkan Supersemar yang menurut versi Markas Besar Angkatan Darat, menugaskan Soeharto yang kala itu telah diangkat menjadi Panglima kesatuannya dengan pangkat Letnan Jenderal, untuk mengamankan dan menjaga keamanan Negara, serta institusi kepresidenan. Isi Supersemar itu lah yang menjadi dasar Soeharto untuk membubarkan PKI dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.
Hebatnya, hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, Soeharto mampu melumpuhkan partai yang beranggotakan sekitar 30 juta orang itu. Sebagian ditahan, dan sebagian lagi dibunuh. Namun yang hingga kini juga masih 'menakjubkan', meski anggota PKI hanya sebanyak itu, yang terbunuh dalam tragedi paling berdarah di Indonesia itu justru jauh lebih banyak. Bahkan saking banyaknya, hingga kini jumlah orang yang dibunuh masih simpang siur.
Dalam buku berjudul ‘The Indonesian Killings 1965-1966, Studies from Java and Bali’, Robert Cribb menyebutkan data yang bervariasi tentang jumlah orang yang dibunuh kala itu. Misalnya, Donald Kirk menyebut yang dibunuh 150,000 orang, Ben Anderson dan Ruth McVey menyebut 200.000 orang, Sudomo menyebut antara 450.000 hingga 500.000 orang, Adam Malik menyebut 150.000 orang, dan L.N. Palar menyebut 100.000 orang.
Bagaimana Soeharto bisa ‘sehebat’ itu?
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo menyatakan bahwa keberhasilan Soeharto itu tak lepas dari campur tangan Beek. Melalui Ali Murtopo, Beek menyerahkan 5.000 nama pentolan PKI dari tingkat pusat hingga daerah-daerah, termasuk Madiun yang menjadi salah satu basis PKI, kepada CIA. Oleh Dinas Intelijen Amerika Serikat itu, data diserahkan kepada Soeharto agar orang-orang yang namanya tercantum dalam daftar itu, dihabisi. Hal ini terungkap setelah wartawati AS, Kathy Kadane, mewawancarai mantan pejabat Kedubes AS di Jakarta, pejabat CIA, dan Deplu AS. Mantan pejabat Kedubes AS, Lydman, misalnya, mengakui kalau pengumpulan nama-nama orang PKI selain dilakukan oleh stafnya, juga dibantu oleh Ali Murtopo yang kala itu menjabat sebagai kepala Opsus. Dengan dua cara inilah maka 5.000 nama pentolan PKI terkumpul.
Mengapa Ali Murtopo menyerahkan dulu daftar itu kepada CIA, dan tidak langsung saja kepada Soeharto? Jawabannya jelas, karena Ali Murtopo adalah anak buah Beek, dan selain anggota Freemason, Beek adalah anggota CIA. Jadi, sebelum daftar itu digunakan oleh Soeharto, CIA harus men-screening-nya dulu agar tidak ada nama yang sebenarnya merupakan bagian dari CIA, ikut terbantai.
Yang lebih menarik, dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengatakan bahwa sebelum sampai kepada Soeharto, daftar itu oleh CIA diserahkan dulu kepada Kim Adhyatma, ajudan Adam Malik. Tak heran jika dalam bukunya yang berjudul ‘Legacy of Ashes, History of the CIA’, wartawan New York Times, Tim Weiner, menyebut kalau Adam Malik merupakan seorang agen CIA. Bahkan wartawan itu menyebut, pahlawan nasional berjulukan si Kancil itu merupakan pejabat tertinggi di Indonesia yang pernah direkrut Dinas Intelijen Amerika.
(Bersambung …)
Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia – 16
Kamis, 27 Oktober 2011Soekarno. |
Melalui sidang umum yang digelar pada 1966, lembaga tertinggi negara itu mengeluarkan dua ketetapannya, yaitu TAP MPRS No. IX/1966 yang mengukuhkan Supersemar menjadi Ketetapan (TAP) MPRS, dan TAP MPRS No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar, untuk setiap saat menjadi presiden apabila Soekarno berhalangan. Lembaga itu juga meminta Soekarno mempertanggungjawabkan sikapnya terkait dukungan terhadap PKI.
Pada 22 Juni 1966, Soekarno membacakan pidato pertanggungjawaban, namun pidato yang diberi judul ‘Nawaksara’ itu dianggap tidak lengkap. Pada 10 Januari 1967, Soekarno kembali membacakan pertanggungjawabannya yang kali ini diberi judul ‘Pelengkap Nawaskara’. Namun pada 16 Februari 1967, MPRS juga menyatakan menolak pertanggungjawaban itu.
Akhirnya, berkat permintaan MPRS, pada 20 Januari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Penandatangan ini merupakan akhir dari karir Soekarno sebagai presiden RI karena sesuai TAP MPRS No. XV/1966, secara de facto Soeharto menjadi kepala pemerintahan Indonesia menggantikan dirinya.
Naiknya Soeharto menjadi presiden disahkan melalui Sidang Istimewa MPRS dengan agenda pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai penggantinya. Bahkan dalam sidang itu, MPRS mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi yang disandang sang the founding father.
Jejak Beek dalam kudeta ini mungkin bisa dilacak dari perlakuan Soeharto selanjutnya kepada Soekarno. Setelah tidak lagi menjadi presiden, Soeharto menjadikan Soekarno sebagai tahanan politik, dan mengisolasinya dari dunia luar, sehingga tak dapat lagi berhubungan dengan rekan-rekan sesama pejuang yang merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda dan Jepang. Padahal ketika Soeharto ketahuan korupsi ketika masih menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Soekarno memaafkannya. Meski Soeharto ‘disekolahkan’ dulu di SSKAD sebelum ditarik ke Jakarta, ke Markas Besar Angkatan Darat.
Ketika Soekarno meninggal pada 21 Juni 1970, Soeharto juga tidak mau memenuhi amanat Soekarno untuk memakamkannya di Istana Batu Tulis, Bogor. Melalui Keppres RI No. 44 Tahun 1970, Soekarno dimakamkan di kota kelahirannya, Blitar, Jawa Timur.
Meski kemudian Soeharto menetapkan Negara dalam keadaan berkabung selama sepekan, apa yang dilakukan Soeharto terhadap Soekarno jelas terlalu berlebihan mengingat Soekarno tidak memiliki kesalahan fatal terhadapnya. Perlakuan Soeharto ini patut diduga mewakili kepentingan yang lain, yakni kepentingan orang yang menaikkannya menjadi presiden; Beek. Karena Beek benci komunis, maka praktis dia juga membenci Soekarno.
Setelah Soekarno dihabisi, selanjutnya, melalui tangan Soeharto, Islam menjadi sasaran berikutnya.
(bersambung ...)
Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia - 17
Jumat, 28 Oktober 2011Beek. |
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengatakan kalau untuk mencapai misinya ini, Beek menggunakan konsep yang diterapkan gereja dalam ‘mewarnai kehidupan di bumi’, yakni berperan aktif dalam berbagai lini kehidupan bernegara. Ia mengacu pada tulisan Richard Tanter yang bunyinya begini;
“Visi (Pater) Beek pribadi atas peran Gereja, Gereja harus berperan dalam mengatur Negara, kemudian mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui Negara”.
Dari visi ini, tegas Sembodo, jelas sekali bahwa Pater Beek mempunyai kehendak untuk ‘mewarnai’ kehidupan politik di Indonesia dengan ‘mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui negara’. Dengan kata lain, Beek menempatkan orang-orangnya untuk ‘cawe-cawe’ di dalam pemerintahan Orde Baru, era pemerintahan Soeharto. Dengan konsep seperti ini, maka dikembangkanlah konsep Negara yang oleh Daniel Dhakidae dalam bukunya yang berjudul ‘Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru’, disebut sebagai ‘negara organik’.
Menurut Daniel, konsep ini merujuk pada ajaran Thomas Aquinas, yaitu adanya jaminan ketenteraman lewat suatu pemerintahan yang ‘keras’, yang mempunyai kemampuan memerintah dan kemampuan memaksa. Konsep negara organik seperti ini akan menolak paham liberalisme dan sosialisme, karena paham liberalisme dianggap memberikan tempat istimewa bagi pribadi, sedangkan sosialisme dianggap menghalalkan perjuangan kelas yang akan menghancurkan tatanan Negara organik.
Di atas konsep seperti itu lah Orde Baru dibangun. Sebagai sebuah negara organik, Orde Baru mempunyai dua ciri yang menonjol, yakni hirarki (sentralistik) dan harmonisme. Agar Negara kuat, maka harus dipegang secara hirarkis dimana yang paling atas memegang kontro, terhadap orang-orang di bawahnya. Sementara untuk menjaga ketenteraman, maka harmonisme harus dijaga dengan cara sebisa mungkin menghilangkan perbedaan pendapat, dan setiap permasalahan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat.
Konsep Orde Baru ini, kata Sembodo, bila ditilik lebih mendalam tidak jauh berbeda dengan sistem gereja Katolik yang berpusat di Vatikan, karena selama Orde Baru berkuasa, Soeharto sama seperti Paus yang mempunyai kekuasaan mutlak terhadap umatnya.
Namun, jelas Sembodo lebih jauh dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, karena gereja tidak boleh politis, maka Pater Beek membutuhkan ‘alat sebagai perpanjangan tangannya’ untuk ikut cawe-cawe dalam pemerintahan Orde Baru. Sebuah alat yang efektif dan berpengaruh, serta mampu mempengaruhi jalannya pemerintahan. Maka dia membentuk sebuah lembaga think tank yang berfungsi memasok gagasan-gagasan bagi Soeharto. Maka didirikan lah CSIS (the Centre for Strategic and International Studies). Lembaga ini, menurut Daniel Dhakidae, merupakan penggabungan antara politisi, cendekiawan Katolik, dan Angkatan Darat. Lembaga ini lah yang kemudian memasok gagasan dan menjaga agar Orde Baru menerapkan sistem negara organik versi gereja pra Vatikan II.
Selain lewat CSIS, Beek juga menempatkan bidak-bidaknya di birokrasi dan militer. Di birokrasi misalnya, ada nama Cosmas Batubara dan Daoed Joeseof yang menempati jabatan menteri dalam kabinet Soeharto; dan di militer ada Ali Murtopo, Yoga Sugama serta LB Murdani yang memiliki kedudukan strategis. Ali Moertopo dengan Opsus-nya, sebuah lembaga yang mempunyai kekuasaan tak terbatas dan berandil besar dalam mengebiri politik anti-Islam. Bahkan Ali Moertopo juga menempati posisi kunci dalam Aspri (Asisten Presiden) bersama Mayjen Soedjono Humardani.
Kini jelas lah kalau Orde Baru memang era yang pendiriannya ‘ditopang’ Beek demi memuluskan misinya menghancurkan Islam dan menegakkan Katolik di Indonesia. Tentang hal ini, Richard Tanter berkata begini;
“Pemihakan semacam ini dibenarkan Beek dengan dalih, sungguh pun banyak kesalahan yang dibuat oleh Soeharto, watak komunis maupun Islam yang tidak dapat diterimanya, membuatnya tidak bisa memilih lain, selain memberikan dukungan atas the lesser evel (tentara)”.
(bersambung …)
Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia - 18
Sabtu, 29 Oktober 2011Ketika pertama kali mendengar nama CSIS, yang ada di benak saya adalah bahwa organisasi ini hanya organisasi para ‘orang pintar’ yang peduli pada masalah perpolitikan di Indonesia dan berusaha memberikan kontribusi positif bagi negeri ini. Anggapan ini sebagian kecil tidak salah, tapi sebagian besar saya merasa kecele karena kala itu saya memang tak tahu bagaimana sejarah berdirinya organisasi ini.
Majalah Q&R edisi 7 Februari 1998 menulis begini tentang CSIS ;
“CSIS tidak dapat dipisahkan dari almarhum Letjen Ali Moertopo dan Mayjen Soedjono Humardani, dua perwira tinggi di awal ‘Orde Baru’ dikenal sangat akrab dengan Presiden Soeharto. Namun kedua tokoh ini (kemudian ditambah dengan nama Jenderal Benny Moerdani, mantan Pangab), sangat berkait dengan suatu masa; tatkala pemerintahan Presiden Soeharto memandang politik Islam dengan syak wasangka. Bukan kebetulan pula anggota teras kepemimpinan CSIS umumnya beragama Katolik dan keturunan Cina. Tokohnya yang paling senior, Dr. Daoed Joesoep, meskipun ia seorang muslim asal Sumatera Timur, juga ketika menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dikenal sebagai perumus kebijakan yang tidak kena di hati umat Islam Indonesia, misalnya keputusannya untuk tidak meliburkan murid di bulan Ramadan. Walhasil, CSIS dianggap identik dengan sikap anti-Islam”.
CSIS yang didirikan pada 1871 memang organisasi yang terdiri dari orang-orang yang anti-Islam. Maka, tak mengherankan kalau di tempat ini bertemu dua aliran, tentara dan sipil. Aliran tentara dipimpin langsung oleh Ali Moertopo, sedang aliran sipil di bawah komando Harry Tjan Silalahi. Kedua aliran ini kemudian bersatu untuk menggalang politik anti-Islam.
Tentang peran Pater Beek dalam pembentukan CSIS disampaikan oleh Jenderal Soemitro. Dalam buku ‘Soemitro dan Peristiwa Malari’, mantan Pengkopkamtib ini pun menyebut-nyebut nama Pater Beek. Ia menyatakan, ia menerima banyak laporan tentang siapa di belakang studi bentukan Ali Moertopo itu. Menurut laporan-laporan tersebut, CSIS dibentuk Ali Moertopo bersama Soedjono Humardani, sebagian golongan Katolik, dan sekelompok orang Tionghoa yang umumnya berafiliasi dengan Pater Beek. Jelas, bahwa lembaga yang dimaksud Soemitro adalah CSIS.
Selain memengaruhi Soeharto, lewat Ali Moertopo dan Soedjono Humardani, CSIS juga berusaha bermain lewat Golkar yang sejarah pendiriannya memang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Orde Baru.
Pada awalnya, di masa revolusi, Golkar merupakan kumpulan organisasi anti-komunis yang bergabung dalam Front Nasional. Organisasi-organisasi yang bergabung dalam Golkar antara lain organisasi buruh tani, pegawai negeri, perempuan, pemuda, intelektual, artis dan seniman. Sebagaimana diuraikan Harold Cruch dalam bukunya, organisasi-organisasi sipil tersebut dikendalikan oleh tentara yang peranannya dominan lewat SOKSI, MKGR dan Kosgoro. Begitu Soekarno tumbang, Golkar pun dijadikan mesin politik Orde Baru.
(bersambung ….)
Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia - 19
Senin, 31 Oktober 2011Selama era Orde Baru, Golkar merupakan partai yang tak terkalahkan karena setiap warga Indonesia, terutama pegawai negeri, dipaksa memilih partai berlambang pohon beringin. Atau hak-haknya sebagai rakyat dikebiri dan dipersulit dalam mengurus banyak hal, termasuk KTP. Tak heran, karena seperti juga CSIS, Golkar adalah organisasi bentukan Beek yang dihidupkan demi menjaga Soeharto tetap langgeng di tampuk kekuasaan, dan misinya tercapai dengan baik.
Dalam buku berjudul “Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengutip penuturan Romo Dick Hartoko yang tertulis di Tempo, yang isinya begini; “Awal mula dari Golkar adalah ide seorang Romo Jesuit Beek”. Romo ini bahkan menegaskan, Beek punya kedekatan dengan salah seorang pendiri CSIS, Ali Moertopo, yang kala itu masih aktif di Opsus dan BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara).
Menurut Sembodo, Romo Dick Hartoko sama sekali tidak salah karena Ali Moertopo mendapat tugas dari Beek untuk menjadikan Golkar sebagai mesin politik yang efektif, sehingga dapat memenangi Pemilu dan mengalahkan partai Islam dan partai nasionalis. Bahkan untuk lebih memastikan kemenangan Golkar, Ali Moertopo mendirikan Badan Pemilihan Umum (Bapilu) yang sebagian besar orang-orangnya beragama Katolik.
Tentang hal ini, Harold Crouch mengatakan begini; “Mengabaikan organisasi-organisasi Sekber-Golkar yang lama, strategi pemilihan Golkar dirancang oleh sebuah komite yang dikumpulkan oleh Ali Moertopo, yang sebagian besar terdiri dari bekas aktivis dari kesatuan aksi. Yakin akan kebutuhan untuk ‘memodernisasi’ politik Indonesia dengan mengurangi peranan partai-partai ‘tradisional’, para anggota komite yang dikenal dengan nama Badan Pemilihan Umum (Bapilu) itu berpandangan sekuler, di dalamnya banyak anggota yang beragama Katolik”.
Crouch juga tak keliru, karena pada pemilu pertama di era Orde Baru, yakni pada 1971, Jusuf Wanandi, kader Beek, aktif di badan ini. Dia kemudian menjabat sebagai Wakil Sekjen DPP Golkar.
Selain Bapilu, bidak-bidak Beek melakukan banyak manuver untuk membuat Golkar tak terkalahkan pada masa Orde Baru. Ketika diwawancarai Majalah Sabili, Suripto mengatakan, sebetulnya banyak pihak yang mengusulkan sistem dua partai seperti di Amerika, namun gagasan itu dimentahkan oleh Ali Moertopo yang menghendaki tiga partai. Satu partai jelas Golkar, sedang dua partai lainnya yang beraliran nasionalis dan Islam. Sejarah kemudian membuktikan, gagasan Ali Moertopo lah yang diimplementasikan Orde Baru, namun, tentu saja dengan mengebiri partai nasionalis dan Islam sehingga sepanjang era tersebut, kedua partai ini tak lebih dari figuran dalam dunia perpolitikan Indonesia agar Indonesia dipandang sebagai negara yang demokratis.
Pengebirian PNI sebagai representasi partai nasionalis, dilakukan dengan menggembosi partai itu melalui kekuatan birokrasi. Para pegawai negeri “ditekan” agar memilih Golkar, dan yang membangkang akan dipecat atau kenaikan pangkatnya ditunda.
Mengenai hal ini, Harold Crouch menjelaskan begini; “Menghadapi PNI, Golkar menggunakan Komendagri (Koperasi Departemen Dalam Negeri), suatu organisasi karyawan dari Departemen Dalam Negeri, darimana dulu PNI mendapatkan banyak dukungan. Pada tahun 1970, rupanya Menteri Dalam Negeri Amir Machmud memutuskan bahwa departemennya akan menjadi tulang punggung Golkar. Walaupun menteri selalu mengatakan bahwa para pegawai negeri masih diperbolehkan menjadi anggota partai masing-masing, tetapi ia menyatakan bahwa mereka yang mementingkan partai akan dipecat dan ia juga menyatakan bahwa keanggotaan partai sekurang-kurangnya akan menjadi hambatan bagi kenaikan pangkat”.
Pengebirian terhadap partai berideologi Islam dilakukan bidak-bidak Pater Beek dengan dua cara. Pertama, melarang berdirinya kembali Masyumi, sehingga ketika partai yang menjadi empat besar pada Pemilu 1955 itu mengajukan izin pendirian kembali, Presiden Soeharto sang penguasa Orde Baru menolaknya dengan alasan karena partai tersebut terlibat pemberontakan PRRI/Permesta. Ini alasan yang dibuat-buat, karena alasan yang sesungguhnya adalah Masyumi memiliki basis pendukung yang besar dari kalangan umat Islam. Jika izin pendirian kembali Masyumi diberikan, partai ini akan menjadi ganjalan besar bagi Golkar.
Alasan lain mengapa Soeharto melarang Masyumi berdiri diutarakan Dr. George J. Aditjondro dengan ungkapan sebagai berikut; “Kebetulan sekali setelah Gestapu, pihak Islam (terutama mantan Masyumi) dianggap meminta terlalu banyak imbalan jasa atas partisipasinya dalam penumpasan Gestapu. Padahal Soeharto dan pimpinan ABRI lainnya sudah berkeputusan untuk mengelola sendiri Negara dan tidak akan berbagi kekuasaan dengan siapa pun, apalagi dengan kekuatan Islam. Ketegangan Islam melawan tentara ini lah yang melicinkan dipraktikkannya doktrin lesser evil Pater Beek tersebut”.
(bersambung …)
Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia - 20
Selasa, 01 November 2011Abu Bakar Ba'asyir. |
Ketika masih berkuasa, Soekarno berkali-kali membuat kebijakan kontroversial. Di antaranya mendukung PKI, dan melarang Masyumi. Kebijakan Soekarno ini membuat tokoh-tokoh partai Islam itu bekerja sama dengan Soeharto untuk ikut menghabisi kekuatan komunis dan menggulingkan Soekarno, tanpa mengetahui ada siapa di belakang Soeharto. Begitu komunis tumbang dan Soekarno terguling, Soeharto menyingkirkan partai ini dengan menjadikannya sebagai partai terlarang juga.
Namun, seperti diungkap Sembodo dalam buku “Pater Beek, Freemason dan CIA”, para pendiri Masyumi tidak kekurangan akal. Agar tetap dapat berkiprah di kancah perpolitikan nasional, mereka mendirikan partai baru yang dinamakan Parmusi (Partai Muslim Indonesia). Pater Beek tentu saja tak tinggal diam. Dia menyusupkan DJ. Naro, salah seorang bidaknya, untuk memecah-belah partai itu, sehingga Parmusi terpecah menjadi dua kubu. Dengan dalih untuk meredam kemelut, pemerintahan Soeharto turun tangan, maka jatuh lah Parmusi ke tangan “Beek” karena Parmusi kemudian dipimpin MS Mintaredja yang merupakan “orangnya pemerintahan Soeharto”.
Tentang hal ini, Harold Crouch menyatakan begini; “Rupanya konflik yang timbul di dalam Parmusi dibangkitkan oleh Naro dengan dorongan anggota-anggota Opsus yang dipimpin oleh Ali Moertopo. Mereka (Opsus) tidak berharap bahwa Naro akan memegang jabatan ketua umum partai, tetapi menciptakan situasi yang memungkinkan pemerintah melangkah masuk dan mengajukan calon ‘hasil kompromi’”.
Cara kedua Pater Beek cs mengebiri politik umat Islam adalah dengan merangkul, namun sekaligus mendiskreditkannya. Pekerjaan ini dilakukan oleh Ali Moertopo dengan cara mendekati mantan orang-orang DI (Darul Islam). Pada 1965, sebagaimana diungkap Ken Comboy dalam bukunya yang berjudul “Intel, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia”, Ali Moertopo berhasil menyelundupkan orangnya yang bernama Sugiyarto dalam lingkaran mantan orang-orang DI. Sugiyarto bahkan berhasil membangun hubungan dengan Mohammad Hasan, salah seorang komandan DI di Jawa Barat. Orang-orang DI pertama kali dimanfaatkan Ali Moertopo untuk mengejar orang-orang komunis, dan ini dibenarkan Umar Abduh dalam artikel berjudul “Latar Belakang Gerakan Komando Jihad” dengan uraian sebagai berikut;
“Dari sini lah pendekatan itu berkembang menjadi makin serius dan signifikan, ketika Ali Moertopo mengajukan ide tentang pembentukan dan pembangunan kembali kekuatan NII guna menghadapi bahaya laten komunis dari utara maupun dalam rangka mengambil alih kekuasaan. Ide Ali Moertopo ini selanjutnya diolah oleh Danu Mohammad Hasan dan dipandu Pitut Suharto, disambut Dodo Muhammad Darda, Tahmid Rahmat Basuki (anak Kartosuwiryo) dan H. Isma’il Pranoto (Hispran)”.
Pada saat Ali Moertopo melakukan infiltrasi ke DI inilah, menurut Sembodo, Komando Jihad didirikan, dan langsung ‘dimainkan’ Ali Moertopo untuk kepentingan politik pemerintahan Soeharto. Di antaranya, untuk mendapatkan tambahan suara dalam jumlah signifikan bagi Golkar. Tentang hal ini Ken Comboy mengatakan begini;
“ … Opsus melihat kesempatan untuk menghidupkan kembali kelompok kanan berlatar belakang agama ini. Ini dikarenakan Ali Moertopo sedang mencari kelompok-kelompok pemilih yang akan mendukung Golkar, mesin politik Orde Baru, dalam Pemilu 1971. Dengan harapan para pemimpin Komando Jihad ini akan mampu mengerahkan simpatisan mereka …”
Sembodo menambahkan, setelah Komandio Jihad terbentuk, Ali Moertopo menyusupkan Pitut Soeharto, orangnya, untuk berhubungan dengan para pimpinan Komando Jihad. Cara Pitut untuk melaksanakan tugasnya adalah dengan melakukan ‘barter’ minyak. Tentang hal ini diutarakan Ken Comboy sebagai berikut;
“Guna melancarkan usahanya, ia (Pitut) mengunakan pendekatan unik. Atas persetujuan Pertamina, suatu perusahaan Negara di bidang minyak dan gas, Pitut mendapatkan hak distribusi minyak tanah untuk wilayah Jawa. Kemudian minyak tersebut ditawarkan kepada para pemimpin Darul Islam yang kemudian memberikan hak distribusi local kepada simpatisan mereka. Balasannya; mereka harus memberikan suaranya kepada Golkar”.
Cara yang ditempuh Pitut berhasil, sehingga pada Pemilu 1971 Golkar menang mutlak. Namun menjelang Pemilu 1977, para pimpinan Komando Jihad membuat Ali Moertopo berang karena Danu sebagai salah seorang pimpinan Komando Jihad, mengatakan kalau organisasinya akan memberikan suaranya kepada PPP, bukan kepada Golkar. Dengan tuduhan akan melakukan makar, empat bulan sebelum Pemilu digelar, semua pimpinan Komando Jihad dan anggota-anggotanya yang berjumlah puluhan orang, ditangkapi dan dijebloskan ke penjara. Tentang hal ini, Janet Steele memberikan uraian sebagai berikut dalam bukunya yang berjudul “Wars Within, Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru”;
“Pada Pemilu 1977, Laksamana Soedomo (seorang militer beragama Katolik), panglima Kopkamtib, mengumumkan adanya komplotan anti-pemerintah bernama “Komando Jihad”. Pemilihan waktu pengumuman itu dipercaya berkaitan dengan otak segala skenario, yakni asisten pribadi Soeharto, Ali Moertopo, menimbulkan kepercayaan bahwa “Komando Jihad” adalah upaya yang didukung pemerintah untuk mendiskreditkan politik Islam sebelum pemilu berlangsung”.
Sedang mengenai proses penangkapan, Umar Abduh dalam artikel berjudul “Latar Belakang Gerakan Komando Jihad” menguraikan begini;
“Jumlah korban penangkapan oleh pihak Laksusda Jaktim yang digelar pada tanggal 6-7 Januari 1977 terhadap para rekrutan baru H. Isma’il Pranoto mencapai 41 orang, 24 orang di antaranya diproses hingga sampai pengadilan. H. Isma’il Pranoto (Hispran) divonis seumur hidup, sementara para rekrutan Hispran yang juga disebut sebagai para pejabat daerah struktur II Neo NII tersebut, baru diajukan ke persidangan pada tahun 1982, setelah ‘disimpan’ dalam tahanan militer selama 5 tahun, dengan vonis hukuman yang bervariasi. Ada yang divonis 16 tahun, 15 tahun, 14 tahun hingga paling ringan 6 tahun penjara. H. Isma’il Pranoto disidangkan perkaranya di Pengadilan Negeri Surabaya tahun 1978 dengan memberlakukan UU Subversif PNPS No 11 Tahun 1963 atas tekanan Pangdam VIII Brawijaya saat itu, Mayjen TNI-AD Witarmin. Sejak itulah UU Subversif ini digunakan sebagai senjata utama untuk menangani semua kasus yang bernuansa maker dari kalangan Islam”.
……………………………..
“Di Jawa Tengah sendiri aksi penangkapan terhadap anggota Neo NII rekrutan H. Isma’il Pranoto dan H. Husen Ahmad Salikun oleh Opsus, seperti Abdullah Sungkar maupun Abu Bakar Ba’asyir dan kawan-kawan berjumlah cukup banyak, sekitar 50 orang, akan tetapi yang diproses hingga ke pengadilan hanya sekitar 29 orang. Penangkapan terhadap anggota Neo NII wilayah Jawa Tengah rekrutan H. Isma’il Pranoto dan H. Husen Ahmad Salikun berlangsung tahun 1978-1979”.
Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, salah seorang korban Komando Jihad, menuturkan pengalamannya ketika berada dalam pemeriksaan dan penahanan di Latsusda Diponegoro, Semarang; “Pemeriksaan yang dilakukan atas diri saya adalah dilakukan secara terus-menerus, siang dan malam. Bahkan sering-sering semalam suntuk. Kalau jawaban-jawaban saya tidak sesuai dengan kehendak pemeriksa, bukan saja ditolak, tetapi juga dicaci-maki yang menyakitkan hati, lalu pemeriksaan ditunda semauya. Pernah juga saya diperiksa oleh pemeriksa dari Jakarta, yaitu sdr. Bahar (pangkatnya saya lupa), selama empat hari empat malam tanpa memperhatikan kondisi fisik. Permintaan saya untuk istirahat, hanya diperkenankan sekali, sehingga pemeriksaan ini benar-benar di luar kemampuan fisik saya. Namun toh tetap dilanjutkan. Maka TERPAKSALAH jawaban yang saya berikan mengikuti apa maunya, yang penting cepat selesai dan istirahat”.
Adanya penangkapan-penangkapan ini memberikan pembenaran bagi Ali Moertopo untuk mengeluarkan pernyataan melalui pemerintah, bahwa telah muncul bahaya makar yang dilakukan oleh ekstrimis Islam guna memecah belah NKRI. Dengan cara ini, Ali Moertopo berhasil membangun image bahwa umat Islam adalah warganegara yang tidak setia kepada NKRI, dan karena takut dianggap ikut-ikutan melakukan makar, maka umat Islam pun berbondong-bondong memilih Golkar.
Kenneth E. Ward mengakui, rezim Orde Baru sedari awal memang sudah menempatkan umat Islam melulu identik dengan Darul Islam, sehingga cenderung hendak menghancurkan Islam. Pendapat Kenneth ini dibenarkan William Widdle dengan pernyataannya yang sebagai berikut;
“Saya selalu berpendapat bahwa sejak awal orang CSIS (organisasi think tank Orde Baru yang didirikan Ali Moertopo) memang terlalu berprasangka terhadap politik Islam di Indonesia. Banyak kebijakan mereka, termasuk Golkar, diciptakan untuk melawan politik Islam yang sebetulnya, menurut pendapat saya, tidak perlu dilawan”.
Heru Cahyono dalam buku “Peranan Ulama dalam Golkar, 1970-1980, dari Pemilu Sampai Malari”, memberikan uraian yang hampir serupa. Ia menguraikan bahwa kebijakan politik Soeharto terhadap Islam amat merugikan umat Islam, karena kelompok Ali Moertopo yang memegang kendali begitu besar dalam pendekatan kepada umat Islam, berintikan tokoh-tokoh yang tidak Islami. Ini lah strategi kelompok Ali Murtopo untuk mengebiri politik umat Islam dan menjadikan Islam sebagai kambing hitam demi kepentingan politik Pater Beek, Soeharto, dan dirinya sendiri.
(bersambung ….)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar